Categories IPTEK JURNAL PUBLIK

Pendidikan Berdampak: Kerja Bersama Mewujudkan Akses Bermutu untuk Semua

Oleh : Raihan Khairi (Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Asal Banjarnegara/UIN Saizu)

Di pelosok-pelosok Nusantara, gema palu dan tawa anak-anak kini kembali terdengar dari balik ruang-ruang belajar yang dulu sunyi. Ada sesuatu yang berubah di udara pagi itu — bukan sekadar suara pembangunan, melainkan denyut kehidupan baru dari sekolah-sekolah yang dulu nyaris dilupakan.

Di dinding-dinding yang baru dicat, tergantung tulisan tangan sederhana: “ Belajar adalah harapan ”.
Bagi banyak anak di pedalaman, ruang kelas bukan hanya tempat mencari ilmu, tetapi ruang untuk percaya bahwa masa depan masih mungkin mereka genggam.

Karena di negeri ini, di mana jarak bisa berarti perbedaan kesempatan, pendidikan menjadi jembatan paling nyata menuju keadilan sosial.

Setahun terakhir, jembatan itu mulai dibangun lebih kokoh. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat capaian signifikan sepanjang periode Oktober 2024–Oktober 2025. Melalui anggaran Rp181,72 triliun untuk tujuh program prioritas, pemerintah menegaskan arah baru pendidikan nasional: membumikan mutu dan menyemai kesetaraan.

Salah satu tonggak besarnya adalah Revitalisasi Satuan Pendidikan. Program ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan usaha menanamkan kembali martabat ruang belajar.

Dengan Rp16,97 triliun, pemerintah berhasil memperbaiki 15.523 satuan pendidikan dari target awal 10.440 — mencakup PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, hingga SLB.

Namun, lebih dari angka, yang tumbuh adalah semangat gotong royong. Di banyak tempat, sekolah dibangun dengan tangan masyarakat sendiri: guru, wali murid, dan warga bahu-membahu memperbaiki ruang belajar.

Di SMPN 1 Bae, Kudus, misalnya, ruang kesenian dan toilet ramah disabilitas dikerjakan secara swakelola. Sementara di Kota Batu, revitalisasi senilai Rp1,7 miliar memugar 293 sekolah sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.

“Revitalisasi bukan hanya membangun tembok, tapi memulihkan martabat ruang belajar,” ujar Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.

Ucapan itu menggema bukan sebagai jargon, tetapi refleksi: bahwa pendidikan sejati bukan tentang gedung yang tinggi, melainkan tentang semangat belajar yang tak padam.

Langkah fisik ini berjalan beriringan dengan transformasi digital yang memberi jiwa pada sistem pendidikan.

Melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pendidikan Nasional, pemerintah menargetkan 285.000 sekolah — dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar — memiliki fasilitas pembelajaran digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Kini, pembelajaran digital bukan lagi kemewahan kota besar.

  1. Di Papua, televisi lokal menyiarkan pelajaran bagi anak-anak tanpa sinyal internet.
  2. Di Kalimantan Utara, radio komunitas menjadi jembatan pengetahuan di sore hari.
  3. Di Sulawesi Tengah, tablet membuka dunia baru bagi anak-anak desa mengenal Kurikulum Merdeka.
    Data BPS (2025) mencatat, 68% sekolah di wilayah 3T kini memiliki akses internet — naik 14% dari tahun sebelumnya. Pemerintah juga menyalurkan 288.000 papan interaktif digital (Interactive Flat Panel/IFP) untuk memperkaya pengalaman belajar.
    Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Kajian Pusat Studi Pendidikan UGM (2025) menunjukkan, baru 47% guru di luar Jawa yang mengikuti pelatihan integrasi teknologi, sementara 61% guru di wilayah 3T belum terbiasa menggunakan platform daring. Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengingatkan, “Teknologi tanpa kurasi konten bisa membingungkan siswa. Akses saja tidak cukup; kualitaslah yang menentukan.”
    Tantangan itu tak menyurutkan optimisme. Di tengah segala keterbatasan, banyak guru tetap berinovasi. Puji Basuki, guru SMKN 1 Kudus, menceritakan bagaimana siswanya kini belajar dengan antusias. “Anak-anak belajar bukan karena tugas, tapi karena rasa ingin tahu,” katanya. Sebuah kalimat sederhana, namun di sanalah makna perubahan itu terasa: ketika belajar kembali menjadi proses yang menghidupkan, bukan sekadar kewajiban.
    Guru Berdaya, Murid Terbuka: SDM yang Menjadi Arah Perubahan
    Setiap perubahan besar dalam pendidikan selalu bermula dari ruang kelas—dari tatapan seorang guru yang percaya bahwa setiap anak bisa tumbuh, dan dari murid yang berani bermimpi. Karena itu, inti dari reformasi pendidikan bukan sekadar kurikulum atau fasilitas, melainkan manusia yang menghidupkannya.
    Tahun ini, pemerintah menegaskan arah itu melalui investasi besar pada sumber daya pendidikan. Sebesar Rp13,2 triliun digelontorkan untuk memperkuat kompetensi dan kesejahteraan guru di seluruh Indonesia—sebuah langkah yang bukan hanya soal angka, tapi soal penghargaan terhadap peran guru sebagai penjaga peradaban belajar.
    ⦁ Lebih dari 785 ribu guru non-ASN kini menerima tunjangan profesi Rp2 juta per bulan,
    ⦁ 253 ribu guru PAUD nonformal memperoleh Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp300 ribu,
    ⦁ 804 ribu guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG), dan
    ⦁ 16.197 guru difasilitasi melanjutkan studi ke jenjang S1/D4.
    Mulai Agustus 2025, pemerintah juga menyalurkan insentif tambahan Rp2,1 juta selama tujuh bulan bagi guru non-ASN, sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka yang menjaga semangat belajar meski di tengah keterbatasan.
    Bagi guru ASN, dukungan hadir lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik sebesar Rp70 triliun, yang mencakup:
  4. Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi 1,52 juta guru,
  5. Dana Tambahan Penghasilan (DTP) untuk 332 ribu guru, dan
  6. Tunjangan Khusus Guru (TKG) bagi 62 ribu pendidik di wilayah 3T.
    Kebijakan ini memperkuat moral sekaligus profesionalisme. Kini, semakin banyak guru berani mencoba project-based learning, membuat media ajar digital, dan menjadikan ruang kelas sebagai laboratorium ide.

Seperti diingatkan Najeela Shihab, “Guru perlu ruang aman untuk bereksperimen, bukan hanya ruang untuk mengisi formulir.”

Upaya peningkatan kapasitas ini berjalan seiring dengan kebijakan afirmatif untuk murid. Program Indonesia Pintar (PIP) menjangkau 18,5 juta siswa dengan total pagu Rp13,5 triliun, sementara Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) senilai Rp127 miliar membantu 4.679 siswa di wilayah 3T agar tidak putus sekolah.

Di sisi lain, Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) menyalurkan Rp59,3 triliun kepada 422.106 sekolah dan lebih dari 50 juta peserta didik, memastikan kegiatan belajar berjalan tanpa membebani orang tua—dari listrik dan buku hingga kegiatan ekstrakurikuler.

Namun transformasi pendidikan tak berhenti di ruang kelas. Ia juga bergerak di sistem penerimaan murid. Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) kini menggantikan PPDB, dengan tingkat penerimaan publik yang tinggi.

Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) 2025, 80% masyarakat sudah mengenal SPMB, 88% menilai lebih baik daripada PPDB, dan 90% menyebut sesuai harapan. Lebih dari itu, 91,1% orang tua menilai SPMB memperluas kesempatan bagi murid berprestasi, 94,4% bagi murid ekonomi lemah, dan 91,8% bagi penyandang disabilitas.

Tingkat kepuasan publik terhadap SPMB pun mencapai skor 3,26 dari 4, dengan aspek tertinggi pada transparansi dan kejelasan waktu pelaksanaan. Meski demikian, 24,9% responden menilai sosialisasi masih kurang, dan 10,2% mengeluhkan kendala teknis. Masukan ini penting agar sistem yang baik tak hanya adil di atas kertas, tapi juga mudah diakses semua lapisan masyarakat.

Standar Baru Pendidikan: Dari Tes Akademik hingga Kebiasaan Hidup Sehat

Di balik capaian angka dan sistem baru, pendidikan Indonesia sedang mencari roh mutu—bagaimana mengukur kemajuan bukan hanya dari nilai, tapi dari kemampuan berpikir, berkarakter, dan berdaya saing.

Untuk itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyiapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai standar nasional hasil belajar. Meski masih bersifat sukarela dan baru diterapkan di jenjang SMA/SMK, kehadirannya mendapat dukungan luas.

Hasil survei Katadata (2025) menunjukkan 86,2% masyarakat mengetahui TKA, dan 96,5% menilai penting diterapkan. Bahkan, 93,6% responden mendukung TKA sebagai bagian dari seleksi lanjut pendidikan, dan 74,4% percaya TKA dapat mengurangi praktik manipulasi nilai.

Temuan survei juga memperlihatkan bahwa 87,6% orang tua memahami TKA sebagai standar hasil belajar murid, sementara 9 dari 10 responden menganggap tes ini penting diterapkan secara nasional. Dukungan juga datang dari kepala sekolah, guru, hingga pengamat pendidikan yang melihat TKA sebagai langkah menuju sistem penilaian yang objektif dan setara.

Ke depan, pemerintah berencana memperluas pelaksanaan TKA ke jenjang SD dan SMP, dengan melibatkan dinas pendidikan daerah agar konten soal tidak kehilangan konteks lokal. Namun para pakar mengingatkan agar desain soal TKA tidak berhenti pada hafalan, melainkan menguji critical thinking, kreativitas, dan karakter.

Selain penilaian akademik, pemerintah juga memperkuat dimensi pembentukan karakter melalui kampanye “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, serta tidur cukup. Program ini sederhana tapi bermakna—mendorong anak untuk tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga kuat secara moral dan jasmani.

Dari Angka Menuju Arti

Setahun bukan waktu yang panjang untuk mengubah wajah pendidikan, tetapi cukup untuk menyalakan kembali keyakinan bahwa perubahan itu mungkin. Di banyak sekolah, dari pesisir Aceh hingga pegunungan Papua, denyut semangat belajar kini terdengar kembali. Dinding-dinding yang dulu kusam kini memantulkan cahaya baru; ruang kelas yang sepi kini penuh tawa dan ide.

Transformasi ini bukan hanya tentang gedung yang dibangun atau jaringan internet yang dipasang, melainkan tentang hidup yang disentuh—tentang anak-anak yang kini bisa belajar tanpa harus berjalan berkilo-kilometer, tentang guru yang kembali percaya bahwa profesinya dihargai, dan tentang orang tua yang tak lagi cemas karena pendidikan anaknya semakin terjangkau.

Namun perjalanan ini belum selesai. Masih ada 32% sekolah di wilayah 3T yang menunggu sinyal kuat untuk terhubung ke dunia digital. Masih ada guru yang memerlukan ruang aman untuk berinovasi, dan keluarga yang perlu didampingi agar literasi digital tumbuh bersama semangat belajar anak-anak mereka.

Pendidikan yang berdampak sejatinya tidak diukur dari seberapa besar anggaran terserap atau berapa banyak sekolah direnovasi. Ia diukur dari perubahan kecil yang terjadi setiap hari: ketika seorang anak di pedalaman tersenyum karena bisa mengikuti kelas daring untuk pertama kalinya; ketika seorang guru menemukan cara baru mengajar lewat teknologi; ketika masyarakat bergotong royong membangun sekolahnya sendiri.

Selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, murid yang belajar dengan semangat, dan pemerintah yang mendengar dengan tulus—harapan itu akan terus tumbuh.

Pendidikan bermutu untuk semua kini bukan lagi sekadar visi dalam dokumen kebijakan. Ia sedang menjelma menjadi kenyataan, hadir di ruang-ruang belajar, di layar-layar kecil di tangan anak-anak desa, dan di langkah-langkah mereka menuju masa depan.

Karena pada akhirnya, pendidikan berdampak bukan tentang capaian yang tercatat, melainkan tentang peradaban yang bertumbuh—tentang kerja bersama yang perlahan mengubah angka menjadi arti, dan harapan menjadi nyata. ***