Oleh : Nazarman
Terjadinya kericuhan terhadap sekelompok warga pendatang di Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, pada Minggu (26/10), mengingatkan kembali pada persoalan lama yang membekas di Tanah Serampas.
Di lembah-lembah sejuk kaki Bukit Barisan, di mana kabut pagi masih setia menyelimuti kebun kayu manis dan kopi tua, masyarakat adat Serampas hidup dengan adat yang diwariskan turun-temurun. Namun di balik ketenangan alamnya, tersimpan kisah kelam yang terus membayang membentuk cara pandang mereka terhadap “orang luar.”
Polemik antara pendatang dari wilayah selatan dengan penduduk Desa Renah Alai bukan sekadar persoalan sosial biasa. Ia adalah gema dari trauma lama luka kolektif yang berasal dari peristiwa tragis di Desa Tanjung Kasri, puluhan tahun silam.
Kala itu, seorang pendatang dari selatan datang dan menikah dengan perempuan setempat. Kehadirannya semula disambut biasa saja, hingga muncul masalah yang menimbulkan keresahan. Lelaki itu dikenal pencemburu dan kerap menimbulkan pertengkaran. Ketegangan pun memuncak, dan akhirnya terjadi peristiwa tragis yang merenggut nyawanya.
Peristiwa tersebut semula terkubur dalam diam. Namun waktu tak pernah benar-benar menyembunyikan kebenaran. Aparat penegak hukum akhirnya mengetahui kabar itu. Polisi datang dengan cara halus mengundang warga berkumpul di rumah adat. Setelah semua hadir, satu per satu laki-laki dewasa ditangkap. Sejak hari itu, kampung kehilangan banyak penghuninya, dan rasa takut menanam akar di hati masyarakat.
Dari tragedi itu lahirlah kesepakatan adat baru. Marga Serampas, yang menaungi lima desa Renah Alai, Rantau Keramas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu bersepakat menutup diri dari pendatang asal selatan, terutama dari wilayah Palembang dan Bengkulu. Mereka tidak diperkenankan membuka kebun, menetap, apalagi menikah dengan warga setempat.
Keputusan itu bukan sekadar larangan, melainkan bentuk pertahanan sosial atas rasa aman yang pernah direnggut. Bagi masyarakat Serampas, adat adalah dinding yang menjaga keseimbangan hidup. Dalam dinding itu, trauma masa lalu terpatri menjadi hukum keras, tegas, namun lahir dari pengalaman pahit.
Bagi orang luar, mungkin sulit memahami mengapa sebuah kesalahan masa lalu bisa menjelma menjadi larangan lintas generasi. Namun bagi masyarakat adat, ingatan kolektif bukan sekadar sejarah; ia adalah kompas moral yang menentukan arah hidup bersama.
Kini, meski zaman terus berubah dan batas wilayah semakin cair, keputusan adat itu masih hidup dalam diam. Ia menjadi semacam benteng tak kasatmata antara “kami” dan “mereka” sebuah cara bertahan, sekaligus pengingat bahwa luka sosial tidak selalu sembuh hanya dengan berlalunya waktu.
Di Serampas, sejarah bukan sekadar yang tertulis di naskah, melainkan yang dijaga di hati kadang dengan harga yang sangat mahal: keterasingan di tanah sendiri.
Tulisan ini disusun berdasarkan cerita lisan masyarakat dan penuturan beberapa tokoh tua di wilayah Serampas. Sebagian kisah merupakan rekonstruksi naratif dari ingatan kolektif warga, bukan catatan resmi sejarah. Penulis berasal dari desa tetangga dan tumbuh dengan mendengar kisah ini sejak kecil kisah yang selalu hadir dalam bisikan malam di surau, dalam obrolan orang tua di beranda, dan dalam satu pesan yang terus diulang dari generasi ke generasi:
“Jangan dekat dengan orang selatan, karena kita pernah terluka.”.***


