Dari UIN Sutha Jambi untuk Indonesia, “Transintegrasi Ilmu di Kampus 485 Dunia”
12 min readMENYANDANG yang terbaik itu adalah indah dan sebagai rahmat serta nikmat yang tiada taranya,baginada suara orang yang selalu merindukannya, yang tak putus didera nestapa oleh niqmat dan la’nat.
Sepenggal kalimat yang tidak terlalu panjang dan tidak pula puitis; namun bila dialamatkan ke institusi yang belum pernah menyandang predikat terbaik atau masuk nominasi saja belum, apalagi nobel atau sertifikat berupa penghargaan pantastik,menjadi unik dan menarik ketika satu lembaga berada dalam ranking dunia yang jarang dan bahkan ekstra sulit diraih oleh siapapun atau lembaga apapun.
Sekarang, apa yang unik itu terbantahkan sudah oleh institusi pendidikan tinggi Islam yang berada di bahagian barat wilayah Indonesia yang akrab dengan nama barunya,Universitas Islam Negeri Sulthan ThahaSaifuddin Jambi( UIN SUTHA )yang maraihranking 485 dunia.
Lebih uniklagi, ketika pendidikan di Indonesia–termasuk pendidikan tinggi Islam –sibuk dengan keilmuam yang dikhotomistik antara ilmu yang bersifat sainstifik dan profane dengan ilmu agamayang lebih cenderung ukhrawi yang kadang kala keduanya konflikvis a vis dan pada ketika yang lain antara keduanya kompetitif dan kerjasama.
Hal yang tersebut terakhir menjadi menarik diurai dan dianalisis karena beberapa alasan:1) sejak berdiri (1967 –2020), UIN ( dulu:IAIN ) mengembangkan ilmu secara dikhotomis; 2) bahkan pada kurun tersebut, IAIN lebih cenderung mengembangkan keilmuan agama saja; 3) sejak tahun 2017, UIN menganut teori non dikhotomis, pengembangan ilmu agama dan umum secara sinergik kompetitif; 4) tahun 2020s/d sekarang, di samping non dikhotomis keilmuan, ada upaya integrasi, interkoneksi yang bermuara pada transintegrasi ilmu.
Apa yang terjadi di dunia pendidikan tinggi di Indonesia dewasa ini dan kenapa terjadi pengembangan keilmuan di Indonesia mengalami perubahan, dari dikhotomik ke non dikhotomik, yang bermuara pada transintegratif adalah kajian dan informasiyang menarik perhatian pada tahun baru 2021ini, terutama bagi UIN Sutha yang sedang menanjak naik.
Modernisasi atau Rekonstruksi
Meminjam istilah yang digunakan Muhammad Abduh bahwa modenisasi adalah munculnya gerakan, pemikiran dan aktivitas dalam upaya menjadi modern di semua lini kehidupan, kecuali hal yang bersifat imani yang didalam Islam disebabkan terjadinya kontak antara Timur/Asia dan Timur Tengah dengan Barat/Eropayang disebabkan perkembangan sains dan teknologi yang paradox dengan peran gereja.
Istilah baru atau modern dalam arti sesuatu yang belum terjadi sebelumnya( شيء جديد) atau menghidupkan kembali sesuatu yang pernah berkembang.
Bila kemoderenan itu sudah pernah adadi dunia Islam, disebabkan satu dan lain hal memudar bahkan lenyap; kemudian
karena kebutuhan masyarakat, maka ia muncul kembali. Apa yang tersebut terakhir, Sir Muhammad Iqbal menamainya dengan rekonstruksi. Artinya mengulang kembali apa yang pernahterjadi. Dalam pengertian yang samaal-Ghazali menyebutnya denganالاحياء/ menghidupkannya kembali.
Dalam kaitannya dengan perkembangan knowledge, baik sains dan teknologi di satu pihak sebagai ilmu profetik maupun ilmu agama/ religeous knowledge sebagai ilmu sosial ukhrawi pernah mengalami konflik yang dahsyat di Barat.
Sementara didunia Islam antara keduanya seiring dan sejalan ( التداخل ،التسامحiالتزاوج). Hal itu bisa terjadi tidak terlepas dari rujukan sebagai sumber berpikir dan bertindak masing-masing komunitas.
Barat merujuk ke Injil, di lain pihak Muslim menjadikan Alqur’an sebagai soko gurunya.Berangkat dari filsafat yang berbeda akan menghasilkan hal yang bebeda pula.
Barat dominan dengan kajian empiriknya dan kurang percaya dengan dogma sebagai kajian ilmu profan. Islam berpikir dan bertindak secara verbal melampaui batas-batas itu. Maka dalam Islam tidak mengherankan kalau ada wilayah dogmatik, empiristik dan mistisistik.
Pergulatan dua kubu ini, di Barat melahirkan renaisans yang bermuara pada modernisme yang berefek pada pemisahan agama/gereja dengan iptek serta agama dengan negara.
Disebabkan banyak hal, terutama gereja tidak dapat mendamaikan tuntutan agama dengan iptek. Di dunia Islam malah terjadi sebaliknya. Tuntutan agama dengan tuntutan iptek tidak conflict dan tidak conflicated, keduanya berjalan saling menguatkan karena keduanya diyakini bersumber dari zat yang satu yakni Allah.Justeru ajaran Alqur’an dapat mendamaikan 3 domain tersebut, maka dalam Islam tidak ada pemisahan ulama dengan umara’sebagai pelanjut dari ajaran Nabi Muhammad SAW.Di dalam ajarannya ketiga domain berotasi pada porosnya masing-masing/كله يدور في فلكه( domain empirik, religi dan rasa). Ketiganya dapat berkembangdi wilayahnya masing-masing apakah ia membawa kepada kemajuan atau tidak.
Menyuburkan pemikiran seperti ini, Ibn Taimiyyah melahirkan teori: المحافظة علي القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح/“Merespon positif terhadap yang lama yang masih relevan atau mengambil yang the best yang telah teruji”.Jadi, kemodernan dapat berbentuk to be pure modern or to be a newconstruction/لشيءجديداو لمحافظة علي القديم الصالح
Aplikasi Sains dan Ilmu Agama di Indonesia
Pemikiran Eropa masuk ke Indonesiayang melahirkan dikhotomi ilmu sebagai akibat dari reaisans.Kolonial Belanda menciptakan dikhotomi Ilmu di Indonesia. Apakah murni kecenderungan filsafat Barat yang dianut ata uada muatan politis( Kristenisasi dan devide et impera) perlu pembuktian secara ilmiah untuk menolak atau menerimanya.Sebab keduanya itu agak tercium aroma negatifnya.Kalau disimpulkan dikhotomi keilmuan itu‘barang import’ Barat, maka kenapa negara-negara yang dijajah Inggeris seperti Malaysia, Singapore atau India atau semisalnya tidak menganut ilmu yang dikhotomistik. Kenapa di Singapura dan India tidak ditemukan 2 departemen yang mengelola keilmuan. Begitu juga di negara-negara yang disebutkan di atas, keilmuan tidak dikelola oleh 2 jenis pendidikan, tak terkecuali pendidikan tinggi, dikelola berdasarkan 2 jenis rumpun ilmu yang dipandang lahir dari sumber yang berbeda.
Namun demikian, agak sulit membantah bahwa terjadinya dikhotomistik di Indonenesia sulit dipungkiri bahwa itu adalah campur tangan Belanda.
Pemerintahan Belandalah yang memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum baik dari sudut filsafat yang mendasarinya maupun lembaga pengelolanya. Adanya rumpun ilmu umum dan rumpun ilmu agama,begitu pula adanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disamping Kementerian Agama. Adanya pula dua jenis perguruan/ pendidikan baik tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Dalam hal ini, UI,UGM, ITB dan sejenisnya di bawah pengelolaan Departemen P&K. Adanya IAIN,STAIS/N dst.di bawah pengelolaan Departemen Agama. Kondisi dan struktur sepetti itu ada setelah Belanda bercokol di Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan bukti-bukti di atas, maka tidaklah mengherankan kalau dikatakan bahwa dikhotomi keilmuan merupakan campurtangan kolonialis Belanda di Indonesia.
Diskursus Sains dan Agamadi Abad 21di Indonesia
Islam masuk ke Nusantara–kata yang paling disepakati –adalah pada abad ke-13 M.Islam yang berasal dari Timur Tengah jelas, clean dan clear tidak bermuatan dikhotomitas keilmuan, karena sumber ilmu itu Allah dan Alqur’an beserta hadits Nabi sebagai sokogurunya tidak ditemukan bahwa ilmu agama dan umum bertentangan. Ambillah ayat: يرفع الل الذين امنوامنكم والذين اوتواالعلم درجات, tidak ditemukan dalam ayat itu, apakah ilmu agama atau ilmu umum keduanya bertentangan. Kemudian kenyataan itu dipertegas oleh keterangan Nabi: من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الاخرة فعليه بالعلم ومن اراد همافعليهما بالعلم .Baik masalah dunia maupun masalah akherat dapat diselesaikan dengan penerapan sekaligus pada satu rumpun ilmu, sesuai dengan kebutuhannya dan اطلبوا العلم ولوبالصين .. justeru, apa salahnya menuntut ilmu sampai ke negeri Tiongkok sana, kalau ilmu itu bermanfa’at dan tidak memberi efek negative ketika digunakan.
Sementara, dapat dipahami bahwa ilmu-ilmu yang datang dari dunia Islam ternyata tidak dikhotomik. Lihat saja, ketika Damsyik, Baghdad, Mesir, Jundisabur menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan sebagai kota peradaban, ilmu umum dan agama berkembang sejajar. Hanya saja, karena ada di segelintir mazhab didominasi oleh pemikiran fikihyang tekstual sangat berlebihan, maka ilmu kedokteran di Mesir mengalami perkembangan yang stagnan.
Akan lain halnya ketika madzhab Hanafi sebagai pegangan umat, maka perkembangan ilmu umum cemerlang yang bukti sejarahnya terrcatat sampai sekarang dengan menyebut nama al-Hazem, Averoes, Avesiena dan lain-lain yang menjadi rujukan di Eropa.
Di Indonesia, setelah petualangan Belanda masuk ke Indonesia dan mengukuhkan penjajahannya selama 350 tahun membawa perubahan negative di segala lini, terutama bagi umat Islam dalam 3 lini: perpecahan dalam negeri ( sukses devide et impera ) ; perpecahan ilmu agama dan umum( sukses pedikhotomian); perpecahan departemen pendidikan( departemen pendidikan& kebudayaandan departemen agama ) yang berati sukses dalam memecah depatemen pendidikan. Artinya sukses memecah lembaga menjadi 2 yang tidak perlu dilakukan.Khusus di bidang pendikhotomian, setelah57 tahun Indonesia merdeka kejelekan kolonial Belanda satu persatu terkuak, terutama berkaitan dengan dikhotomi ilmu.
Para pendidik muslim baik di kalangan umum atau agama bahwa pendikhotomian itu tidak lebih dari sekedarmetoda handal bagi pengukuhan kolonialisme di negeri ini yang mana dikhotomi ilmu itu menciderai perkembangan ilmu, sains dan teknologi di Indonesia berbasis agama.
Maka setelah 76 tahun usia kemerdekaan, UIN Sutha sadar dan bangkit untuk melurus betulkan kesalahan yang selama ini dianggap benar. Upaya itu adalah dalam bentuk rethinking, replacing dan reconstructing yang bermuara pada trasnsintegrasi ilmu yang dipelopri UIN Sutha dibawah komando Prof.Dr H.Sua’idi Asy’ari, MA, Ph.D.
Berbasis dari kampus “ Siginjai Bertuah”UIN Sutha memberikan pencerahan kembali dengan satu kata bahwa ilmu“non dikhotomi” dan terhadap apa yang keliru selama ini, sudah waktunya mengembalikan ke posisi seharusnya dengan menetapkan teori transintegrasi ilmu dalam mengkaji: •Ontologi ilmu dalam Islam •Epistemologi ilmu dalam Islam •axiologi ilmu dalam IslamTernyata dalam kajian filsafat ilmu bahwa ilmu dalam Islam tidak selalu tidak sejalan antara Barat dengan Islam, baik secara ontologis maupun dari sudut epistemologis, apalagi ketika ilmu itu diaplikasikan dalam bentuk axiologis.
Dengan demikian, apa yang dikenal di Barat dan dalam Islam berkaitan dengan axiologi ilmu, pandangan keduanya betul-betul berbeda.
Barat memandang ilmu pada tataran axiologist is value free/bebas nilai; sementara axiololgi ilmu dalam Islam terikat oleh nilai-nilai qur’ani dalam pengertian bahwa semua boleh saja dipelajari; bahkan ketika hasil sains sudah menjadi teknologi, maka hasil teknologi harus mendapat fit and profer test dulu oleh Al-qur’an dan hadits sebelum diterapkan.
Sebagai contoh bahwa bagaimana terciptanya bom atom boleh saja dpelajari; akan tetapi ketika temuan bom atom bila digunakan untuk membunuh manusia, Islam tidak membenarkan penerapan/axiologinya. Yang paling up to date contohnya hari ini adalah tentang temuan vaksin anti covid 19.
Pada tataran ontologi dan epistemologi dapat saja dilakukan; namun ketika diterapkan penyuntikannya, maka kehalalannya dipertanyakan.
Bila ia halal, go on please; bila tidak, maka perlu kajian fikih yang mendalam tentang kedaruratan dalam penggunaannya.
Perbedaan itu jelas sekali ketika temuan ilmu dapat digunakan di tengah masyarakat. Dalam axiologi, masaalah halal-haram dan etis-tidaknya sangat kental dalam Islam. Makannya, transintegrasi ilmu dalam Islam berporos dan berporsi besar berada pada axiology ilmu.
Setelah terjadi pertemuan para pakar, dari UIN-UIN besar di Indonesia seperti UIN Syarifhidayatullah dengan tokohnya Prof. Azyumardi Azra; dari UIN Sunan Kalijogo muncul nama Prof. Amin Abdullah; dari UIN Maliki dikenal nama besar yang terkemuka Prof.Imam Suprayogo, sedangkan di UIN Alauddin Makassar tak asing lagi nama Prof.Azhar Arsyad.
Dari sinilah baik secara individual atau pun lembaga “menggaungnya suara” non dikhotomik keilmuan yang memancar dari Universitas-universitas Islam baru ketika itu.
Mulai dari pengutamaan Interkoneksi keilmuan dan Integrasi menyeruak ketrans integrasi ilmu. Hanya saja, ada pertanyaan ringan tapi menggelitik serta hanya kecil tapi mengganjal adalah apakah transintegrasi keilmuan itu sebagai wujud modernisasi murni sebagai yang digadang-gadang oleh Muhammad Abduh atau rekonstruksi sebagaimana yang digaungkan oleh Sir Muhammad Iqbal dan ata uistilah الاحياءsebagai pemikiran cerdas Imam al-Ghazali.
Walaupun ketiga pemikiran itu dapat dikatakan bermuara ke hal yang sama yakni perpaduan ilmu umum dan ilmu agama pada satu kancah.
Abduh tersentuh otak dan hatinya melihat orang Barat mengamalkan ajaran Alqur’an dan hadits; sementara mereka tidak muslim. Lain lagi , Iqbal menjadi resah pemikirannya melihat perpaduan ilmu agama dan umum sudah terjadi pada zaman silam,setidaknya pada abad ke VIII s/d XIV M. menjadikan keilmuan Islam yang ditokohi seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Kawarizm, Maskawaih, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan sederetan nama pakar muslim lainnya telah mewariskan ‘catatan’ penting di dunia Islam pada waktu itu.
Khusus al-Ghazali merasa tersentuh hatinya, ketika nilai-nilai agama tidak mendapat tempat dalam pergulatan ilmu. Tentulah dengan rasa bangga, ia menggugat dengan seutas kata tagihan: احياء علوم الدين./“semaikan kembali ilmu agama”.Pemikiran al-Ghazali datang bukanya ujuk-ujuk; akan tetapi ia melihat di Baghdad ketika itu ( abad 9 dan 10 M) dominasi berpikir empirik rasianal tanpa batas.
Berdasarkan fakta di atas dapat dikatakan bahwa transintegrasi ilmuadalah mengimplementasikan kembali praktik keilmuan para tokoh jenius masa lalu yang meraih magnun opus dalam bentuk modernisasi atau rekonstruksi, bisa juga menghidupkan kembali yang muaranya berada pada transintrgrasi ilmu
Tantangan dan Hambatan
Kemungkinan besar transintegtasi ilmu sebagaimana telah diuraikan di atas yang UIN Sutha akan menjadi garda terdepan mensponsorinya, bukannya tanpa tantangan dan hambatan.
Bila kita menggunakan analisis SWOT, maka duduk masalah serta cara mengatasinya akan terukur; sehingga dampak negatif yang bakal timbul dapat ditekan sekecil mungkin, bahkan kalau dapat menjadi zero effect.
Karena porsi utama pelaksanaan transintegrasi ilmu ini tertuju kepada para dosen UIN, maka tantangannya dari segi subjek adalah dosen yang mengkait dengan : a) kemampuan dalam twinknowledge/ twin digree; setidaknya mempunyai dua sertifikat ilmu. Bila belum merata dosen mempunyai hal itu, maka upaya jangka pendek: 1) coaching clinic ; 2) adanya pelatihan; 3) pembibitan terkontrol; 4) pengutamaan S2 dan S3 dengan doubledigree ( dalam jangka panjang); b) kemampuan anggaran ; c) kemampuan fasilitas, termasuk laboratorium.
Dengan demikian bahwa hambatan menjadi semakin kecil, bila tantangan dapat di atasi secara maksimal. Adapun dari segi objek bahwa mahasiswa yang diterima harus melalui seleksi yangketat/selektif agar target tersebut diatas tidak mengecewakan.
Masinis lokomotif Perubahan
Memggerakan UIN Sutha dengan senjata transintegrasi ilmu Ide besar dan agung ini, bila terlaksana dengan baik akan membanggakan masyarakat Jambi, karena gagasan ini mengangkat harkat dan martabat UIN Sutha sebagai lokomotif perubahanyang akan berdampak positif pada perkembangan kemajuan Jambi ke depan.
Secara matematicalcounting akan terukur sekali seperti apa nantinya sumberdaya manusia ( SDM )yang berbasis ilmuproduk transintegrasi ini akan lahir. Untuk sementara, SDM itu dapat digambarkan bahwa satu sisi ilmu profannya mantapberkualitas dan ilmu agamanya berbasiskuat dan mengakar.كشجرة طيبةاصلها ثابتوفرعها في السماء… /bagaikan pohon yang kokohdengan akar yang tertancapdan dahannya menjulang ke langit. (QS.,14:24) .
Komposisi posturnya adalah ilmuan atau saintis atau teknokrat profesional yang berintegritastinggi pada agamanya. Di disi dedikasinya: “ berilmu amaliyah’ dan beramal ilmiyah”; dari segi sikap: “ prosesional, berakhlak, tangguh dan bertanggungjawab”.Dari segi cakrawala: “ sebagai insisiator masa depan yang cerah”.Dari segitututan: “ profesionalyangmukmin dan mukmin yang profesional” dalam arti sarjana yang beriman, berilmu dan beramal yang trnsintegratif”
***
Dulu, membangun Indonesia melalui Jambi adalah kalimat tabu untuk diucapkan ; disamping agaknya hal itu uthopia. Hari ini, sapaan itu akan bernilai uthopia, bila tidak diucapkan atau didiamkan saja.
Hal yang sama dapat pula dikatakan bahwa dewasa ini melirik ke UIN Sutha bukanlah ucapan yang sia-sia, karena benderanya lagi berkibar, seolah melambaikan tangan dengan tawaran manis: “ kemarilah, kemarilah, join us”.Justeru, kesimpulannya bebentuk rumus
(TII) + (5P) : (1M)
JMI =____________
UIN
KeteranganJ=Jambi ; M= Modern; I= IslamiTII= TransintegrasiIlmu; P1 =Pembibitan, P2= Penanaman , P3= Pemupukan, P4= Pengairan, P5= Pemeliharaan; 1 M = Memanfa’atkan.
Jika tahapan tersebut diikuti secara baik,maka transintegrasi ilmu akan memberi suntikan darah segar terhadap pengembamgan UIN Sutha ke depan
.Allaha’lamma fiqalbiwama fi shadri, wa ilaihiturja’ umuri wa kitabat (*)
Prof Adrians Chaththab( Akademisi Senior dan Ketua Senat UINSutha)