Krisis Pangan Dunia, Kok Bisa? (Mengkaji Isi Pertunjukan Lesung Luci)
5 min readOleh: Oky Akbar
Setelah beberapa kali menggelar pertunjukan pengolahan seni tari dan musik, kemarin, 15 Agustus, Taman Budaya Jambi (TBJ) menggelar pengolahan seni teater. Lesung Luci (LL) olahan Teater Tonggak merupakan karya ispiratif Didin Sirojudin (Abah Didin). Tidak seperti pertunjukan pengolahan seni tari dan musik sebelumnya yang diawali dengan penonton undangan terbatas, LL langsung disaksikan penonton umum. Maka pengolahan malam itu terasa seperti pementasan tunggal. Saya setuju. Sebab, penonton adalah magnet, pembawa daya magis bagi pertunjukan itu sendiri.
LL berakar dari upacara Ngayun Luci yang dimiliki oleh masyarakat Kerinci. Sebuah ritual memohon keselamatan, kemakmuran, dan keberkatan kepada nenek moyang untuk tujuan agar padi bernas, padi tidak dimakan burung sehingga yang punya sawah juga diberkati keselamatannya baik sewaktu berada di sawah maupun setelah pulang dari sawah. Rangkaian upacara Ngayun Luci dideskripsikan secara lengkap oleh Kakitau, orang-orangan sawah yang berpura-pura menjadi manusia. Sebagaimana nama-nama tokoh Kakitau, di antaranya Tau Tau (tahu-tahu, atau sok tahu), Borok (penyakit). Dalam pada itu, Kakitau disimbolkan sebagai perwujudan sikap manusia yang pemalas, busuk hati, iri, dan dengki. Penyakit kronis manusia modern. Kritik sosial yang diselipkan dalam tutur dialog Kakitau merupakan elaborasi fakta dan rasa. Sawah-sawah mulai ditinggalkan, dipunggungkan. Manusia berlomba mendirikan gedung, berebut kekuasaan, berupaya menebalkan isi dompet, dan tak lupa mendempul wajah agar kian molek. Manusia acuh terhadap kesalahan dan kekeliuran yang berseliweran di hadapan mata. “Tikus-tikus itu berkeliaran di depan kita”. Ketidakberanian mengungkap kebenaran adalah ketakutan yang tak beralasan.
Selebihnya, LL hanya menampilkan fragmen visualisasi rangkaian upacara Ngayun Luci dan panen raya. Luci yang diikat pada ujung bambu diarak ke tengah sawah. Saat luci diarak, suasana harus tenang. Setibanya di sawah, bambu ditancapkan. Pada luci itu, beberapa makanan tegantung. Makanan itu akan menjadi rebutan warga kampung. Menjelang padi siap panen, luci difungsikan untuk mungusir burung-burung pemakan padi. Setelah beberapa bulan, padi pun siap panen. Maka diadakan upacara panen raya. Panen raya dilaksanakan oleh seluruh warga. Muda-mudi turun ke sawah bergotong royong. Semangat dan kerja sama warga di sawah, tampak dari gerak gemulai penari yang membawa ambung. Padi yang dipanen kemudian diolah menggunakan lesung. Sebagai rasa syukur, diadakan makan berawang, makan bersama, dengan bahan utama nasi dari beras yang dipanen dan lauk hewan sembelihan sapi atau kerbau. Seluruh fragmen diperkental dengan bunyi-bunyi khas alat musik Kerinci.Tiupan romantis seruling Wo Azhar dipadukan dengan pukulan syahdu gendang sike dan gendang panjang dua sisi serta cengkok nada dari vokalis berhasil menyayat kekhusukkan gedung malam itu.
Dimensi pertunjukan LL telah dibahas oleh beberapa tokoh malam itu. Lalu, tulisan ini mencoba menerobos lewat dimensi yang berbeda. Dimensi wacana yang direpresentasikan secara verbal dan nonverbal dihubungkan dengan konteks sosial saat ini menarik dikaji. LL, disengaja atau tidak, hadir dalam situasi isu ancaman pangan yang menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Namun saya yakin, dengan kearifan dan pengetahuan masyarakat, Indonesia mampu keluar dari ancaman krisis pangan.
Dalam mengelola pertanian, masyarakat Jambi membagi lahan pertanian berdasarkan fungsi. Pembagian fungsi lahan itu terbagi dua, yakni baumo dan besawah. Baumo adalah bercocok tanam di lahan kering. Masyarakat Jambi membaginya lagi menjadi palerak, kebun mudo, dan umo renah. Berbeda dengan baumo yang bercocok tanam di lahan kering, besawah adalah bercocok tanam di lahan basah. Pembagiannya berupa sawah payo, sawah tadah hujan, dan sawah pasang surut. Sawah payo atau sawah payau adalah sawah yang dikelola di atas tanah yang banyak mengandung air. Oleh karena itu ada sebutan beras payau. Sawah jenis ini paling sering dijumpai. Ada pula sawah yang berada di daerah permukaan yang agak tinggi. Sawah ini disebut sawah tadah hujan. Sementara itu, sawah pasang surut adalah sawah yang biasanya terdapat di daerah pinggir pantai.
Masa panen padi kurang lebih tiga sampai dengan empat bulan. Dalam waktu itu, padi harus ‘dirawat’. Ketersediaan air dan ancaman gangguan binatang –burung pipit dan gereja- adalah tantangan yang harus dihadapi. Untuk mengatasi ketersediaan air, masyarakat membuat kincir air. Sementara itu, mengatasi gangguan burung, masyarakat membuat orang-orangan sawah. Di Kerinci dikenal dengan istilah rong-rong yang terbuat dari kaleng-kaleng kecil bekas minuman atau makanan dan bekas plastik-plastik kresek yang diikat menggunakan tali yang kemudian dibentangkan di sawah. Jika burung-burung datang tali ditarik sehingga menghasilkan bunyi. Burung takut, lalu terbang, dan pergi. Dalam masyarakat Bungo, alat serupa bernama kakitau. Berbentuk seperti orang-orangan yang ditopang menggunakan galah. Biasanya, kakitau “dipasangkan” baju bercorak warna terang. Kepalanya terbuat dari batok kelapa. Melengkapi usaha merawat padi, dengan kearifan lokalnya, masyarakat menghadirkan upacara. Terlepas dari usaha secara fisik, doa adalah kekuatan yang sempurna.
Setelah menguning, padi dipanen dalam bentuk gabah. Gabah yang sudah kering, tidak semuanya digiling. Sebagiannya disimpan di dalam lumbung padi atau bilik padi yang terbuat dari papan. Lumbung dibuat bertiang agar hasil panen yang disimpan tidak mudah rusak bahkan lumbung berdesain khusus mampu menyimpan padi hingga ratusan tahun. Fungsi lumbung mengantisipasi masa paceklik akibat cuaca atau bencana alam. Lumbung wujud kecerdasan masyarakat. Sementara itu, lesung adalah lumpang kayu panjang, alat pemisah kulit gabah dengan bulir padi. Proses dari benih padi menjadi beras, lalu dimasak menjadi nasi, melewati tahapan yang begitu panjang. Setiap prosesnya mewujud nilai kesabaran. Sudah semestinya, beras dimanfaatkan secara baik. Makanlah secukupnya. Jangan dibuang-buang.
Pertunjukan LL memberi penyadaran kepada kita pentingnya peran petani. Petani harus dihormati, dihargai, dibanggakan, disejahterakan. Petani mesti “dipermudah”, jangan diabaikan, jangan dipersulit. Jangan jadikan petani sebagai kerja-kerja keterpaksaan. Anak muda mesti termotivasi menjadi petani, bangga menjadi petani. Petani adalah jalan keluar ancaman krisis pangan, sedangkan sawah adalah sumbernya. Ancaman krisis pangan dunia, kok bisa?
…..
Catatan:
Tulisan ini juga telah terbit di Koran Harian Jambi Ekspres, Edisi 1 September 2022.