23 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

‘Sumando’ Karya Pengolahan Seni Musik Oleh Komunitas Tepak Karsa

4 min read

(Foto: Wildan-JambidailyDOTcom)

JAMBIDAILY SENI, Budaya – ‘Sumando’ Karya Pengolahan Seni Musik Oleh Komunitas Tepak Karsa di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi (Kamis, 03/11/2022).

‘Sumando’ dihadirkan Tepak Karsa dengan Komposer Anggi Okprida dan Pemusik Joe, Andik, Ardi, Deni, Rido, Eko, Mahar, Yogik dan Anggik.

Pemilihan instrumentasi dalam karya ini dibagi menjadi empat karakteristik instrumen yang terdiri dari tiup (flute), gesek (violin dan violoncello), petik (guitar) dan perkusi (gendang, tambourin, cymbal dan akordion). Dari segi pertunjukan, posisi instrumen menggunakan bentuk standar pertunjukan chamber dimana kelompok string berada pada bagian depan, diikuti oleh kelompok tiup dan perkusi pada posisi belakang.

Pentas ini diselenggarakan Pemerintah provinsi Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi UPTD Taman Budaya Jambi, didukung penuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dirjen Kebudayaan dalam bingkai Dana Alokasi Khusus (DAK).

Konsep upacara dalam pergelaran ini menurut Kepala Taman Budaya Jambi, Eri Argawan Sesuai kesepakatan seniman, bahwa tahun 2022 semua karya eksperimentasi, pengolahan dan Apresiasi di Taman Budaya Jambi wajib bertema Upacara.

“Inilah program pengembangan seni tradisional, kegiatan pembinaan kesenian yang masyarakatnya pelaku lintas daerah kabupaten/kota pada sub kegiatan peningkatan kapasitas tata kelola lembaga kesenian tradisional dan sub kegiatan peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM kesenian tradisional,” Tandas Eri Argawan.

(Foto: Wildan-JambidailyDOTcom)

Ide dan Gagasan Penciptaan

Kategori genre dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 terlibat dengan berbagai tingkat interpretasi musik. Ditempatkan dalam konteks historisnya, konvensi generik menentukan pemahaman tentang karya musik untuk menginformasikan musik yang digarap. Namun demikian, mengidentifikasi batasbatas yang tepat antara genre individu seperti puisi nada atau tone poem dapat dijadikan solusi. Tone poem merupakan karya musik yang mengadaptasikan teks dari puisi ataupun bentuk sastra ke dalam musik. Pertama kali diciptakan oleh Liszt pada tahun 1840-an, tone poem sering tampak bertentangan dari pada terkait erat dengan bentuk-bentuk musik yang ‘mapan’. Tone poem dicirikan oleh 6 pendekatan yang lebih bebas dan inovatif dalam bentuk musik, terutama kecenderungan kearah struktur gerakan tunggal (Grimley, 2004).

Dari pernyataan diatas dapat dijadikan referensi pengkarya dalam menemukan ide penciptaan pada komposisi musik ini. Pengamatan pengkarya pada pelaksaan Ngaji Adat mempunyai kemiripan dengan jenis genre tone poem yang telah dijelaskan diatas, yaitu pada penggunaan teks dari bentuk sastra yang dinyanyikan. Kemudian, pengkarya mengamati unsur musikal yang terdapat pada Ngaji Adat seperti nyanyian saat melantukan teks undang-undang adat dan tabuhan piring yang keduanya mengandung, ritme, nada dan pola melodi yang dapat diidentifikasi dan diuraikan menjadi bagian-bagian yang ‘identik’. Lalu, dikembangkan sebagai materi musikal pada proses penggarapan komposisi musik ini. Sedangkan teks dari buku dasardasar hukum adat Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak tersebut dijadikan lirik yang dinyanyikan oleh instrumen vokal.

(Foto: Wildan-JambidailyDOTcom)

Sinopsis

Sistem matrilokal mengharuskan seorang suami untuk tinggal di lingkungan tempat tinggal keluarga atau klan istri. Para suami dari luar yang menikah dengan anggota perempuan suatu klan atau suku ini disebut dengan istilah Uhang Semendo.

Oleh karenanya secara adat, mereka menggolongkan beberapa tipe Semendo dalam perspektif hukum adat Kerinci, yang tertuang dalam buku naskah dasar-dasar hukum adat tanah sekudung siulak diantaranya adalah sebagai berikut:

Sumendo Gajah gedang
Jenis simendo ini diumpamakan seperti seekor gajah besar. Tabiatnya memiliki egoisme tinggi. Istilah adatnya disebut “gepuk membuang lemak, cedik membuang kawan”.

Sumendo Langau hijau
diumpamakan seperti lalat (langaw) hijau/lalat bangkai. Tabiat lalat hijau ini sama halnya dengan tipe suami hidung belang yang suka main perempuan. Di mana ada perempuan cantik di sana dia singgah (hinggap), tidak peduli anak istri. Istilah adatnya “Kabawah balik malam, idak tau badan payah cari bungo, idak tau bungo sedang kembang”

Sumendo Kucing kuruh
Diumpamakan seperti kucing kurus yang hanya bermalas-malasan di dapur menunggu diberi makan oleh sang majikan/pemilik. Istilah adatnya “Bialah badan ndam karam, matilah ayam matilah tunggan”

Ketiga tipe semendo tersebut diolah menjadi 3 lagu, yang mana lirik diambil dalam buku dasar-dasar hukum adat tanah sekudung siulak yang dilakukan oleh masyarakat siulak dalam kegiatan ngaji adat.

Dalam situasi konkritnya, peradaban adalah redefinisi terus-menerus orientasi kehidupan dalam mencari nilai inti yang layak diprioritaskan dari konteks yang berubah-ubah. Terimalah persembahan pemuda lokal dalam merespons indentitas budaya melalui cara pandangnya.

Karena sejatinya identitas budaya juga terbentuk melalui proses integrasi. Artinya, proses dimana terjadinya peleburan indentitas yang menyebabkan terjadinya silang budaya yang berbeda. Inilah cara pandang anak muda dalam meredefenisikan budayanya melalui karya seni. (*/HN)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 + = 20