Wartawan Bergelar Doktor
6 min read*Catatan Hendry CH Bangun
JAMBIDAILY JURNAL – ADA rasa bangga ketika saya menghadiri promosi doktor Firdaus Komar, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Selatan, di Universitas Sriwijaya, Palembang, 4 Januari. Senang karena di tengah kesibukannya mengurus organisasi, mengelola media siber, menjadi kepala keluarga, Firdaus dapat mengikuti kuliah, menyusun disertasi, dan akhirnya menjalani sidang terbuka di depan sejumlah guru besar dan penguji bergelar doktor dan dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Administrasi Ke-3 di Unsri.
Disertasinya berjudul “Pengelolaan Program Uji Kompetensi Wartawan di Lembaga Penguji#PWI Pusat (Studi Dalam Rangka Mencari Model Pengelolaan Program UKW yang Efektif untuk Memenuhi Standar Kompetensi Wartawan Indonesia”. Setelah prosesi yang berlangsung sekitar 2 jam, Firdaus lulus dengan Pujian. Di Unsri ini juga, boss media Sumatera Ekspres, Muslimin, Desember lalu, meraih gelar doktor bidang hukum. Mengagumkan.
Saya juga pernah menghadiri promosi doktor Iskandar Zulkarnain, pimpinan Lampung Post, di UIN Raden Intan, di Bandar Lampung, beberapa tahun lalu, ketika masih menjabat Sekjen#PWI Pusat bersama sejumlah pengurus. Saat ini Iskandar menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan#PWI Lampung dan masih aktif terlibat dalam mengelola medianya.
Sebenarnya sudah banyak pengurus atau anggota#PWI yang bergelar doktor. Tahun lalu saya mencatat ada tiga orang yang lulus dalam ujian disertasi. Yaitu Eko Pamuji (Jatim), Naskha Naban (Sulbar), dan Suprapto (PWI Pusat). Sebelum itu sudah ada Dedi Syahputra (Sumut), Wahyu Rudanto (Jateng), Naungan Harahap (Bandung), Rajab Ritonga, Artini (Jakarta), Eka Putra (Riau), Susilastuti (Yogyakarta). Sekadar contoh, karena mungkin saya lupa mencatat. Ketika saya masih aktif di Kompas, ada sejumlah staf redaksi yang bergelar doktor. Sebut saja misalnya Emanuel Subangun, Parakitri Tahi Simbolon, Ninok Leksono, Mohamad Subhan.
Di samping mereka yang meraih gelar doktor melalui proses akademis, ada pentolan wartawan yang mendapat gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa), seperti Jakob Oetama yang diberikan oleh Universitas Gajah Mada dan Universitas Negeri Sebelas Maret, dan Rosihan Anwar yang diberikan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kedua tokoh ini terlalu sibuk untuk masuk ruang kuliah, tetapi diberikan penghargaan oleh kalangan intelektual kampus karena peran, kinerja, performa mereka di khazanah pers Tanah Air, pantas dihargai.
Sebagai praktisi pers, Rosihan Anwar dan Jakob Oetama, sudah menunjukkan kinerja luar biasa, menjadi teladan bagi wartawan lintas generasi. Bahkan mungkin sampai sekarang sulit mencari tandingannya.
***
Yang menarik dari promosi Firdaus adalah munculnya kata “integritas” dari dua guru besar yang menjadi penguji terhadap promovendus. Sederhana pertanyaannya, “Bagaimana agar wartawan yang lulus dalam uji kompetensi itu terjaga integritasnya?”. Lalu, “Apakah UKW yang terlaksana dengan baik menjamin terciptanya wartawan berintegritas?.”
Sungguh ini pertanyaan menohok, masuk ke jantung persoalan, yang sudah lama disuarakan di masyarakat, bahkan sampai di ruang rapat kerja#Dewan Pers dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak yang heran dan bertanya, kok semakin banyak wartawan memiliki kompetensi, tetapi pemberitaan di media massa khususnya media siber, kok malah menjadi-jadi?
Terkadang memang tidak relevan menghubungkan secara langsung lulus UKW dan taat pada Kode Etik Jurnalistik, karena mereka itu baru mengetahui dan memahami kode etik. Dan apa yang dilakukan saat menjalankan kegiatan jurnalistik, mulai dari mencari informasi, mengolah, sampai menayangkan, kadang dipengaruhi faktor luar. Tampilan dan kinerja wartawan justru sangat dipengaruhi media tempatnya bekerja, karena mereka lebih taat pada Peraturan Perusahaan, yang di antaranya juga mengatur masalah etis selain yang praktis.
Tetapi bukan berarti UKW tidak bermanfaat. Sesuai Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, siapa saja boleh menjadi wartawan. Tidak ada syarat apapun. Tergantung dari media yang mempekerjakan. Di media yang mapan, pada saat rekrutmen akan ada syarat pendidikan, lalu akan diberi pelatihan, diberi wawasan, agar kinerjanya sesuai harapan.
Tetapi di media yang dibuat hanya untuk kepentingan tertentu, jauh panggang dari api. Tidak perlu ada syarat pendidikan, tidak ada pelatihan sebelum terjun meliput ke lapangan, yang penting mau bekerja dalam kondisi seadanya. Kadang diikutkan dalam pelatihan yang dilakukan organisasi profesi, hanya agar dapat ikuti sertifikasi kompetensi.
Tidak sedikit wartawan direkrut hanya karena mereka memiliki hubungan baik dengan pejabat di pemerintahan (daerah) sehingga bisa memasukkan iklan. Lebih buruk lagi, ada wartawan yang memang diterima dan diberi tugas untuk membuat berita yang mendatangkan uang. Beritakan dulu, berdamai kemudian, dengan imbalan tertentu.
Sebenarnya saat pelaksanaan UKW, di#PWI khususnya, sharing pengalaman dari senior agar peserta patuh pada Kode Etik Jurnalistik selalu dilakukan. Kalau namanya sudah tertera di laman dewanpers.or.id, mereka diminta memiliki kesadaran lebih tinggi, malu membuat berita yang melanggar KEJ, apalagi sampai diadukan ke#Dewan Pers. Tetapi itu hanyalah upaya, karya jurnalistik tetap adalah tergantung pada niat si wartawan sendiri.
***
Hadir di Unsri juga mengingatkan saya pada Piagam Palembang yang dihasilkan di Hari Pers Nasional 2010, dimana waktu itu pimpinan media-media besar di Indonesia, sepakat memberi kewenangan kepada#Dewan Pers untuk membuat Standar Kompetensi Wartawan. Di antara penandatangan ada Erick Thohir, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, James Ryadi. Teringat juga pada Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) angkatan pertama hasil kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Sumsel, dan#PWI, yang kuliah perdananya diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat berlangsungnya HPN itu.
SJI yang mendapat bantuan dari Menteri Mohammad NUH, menjadi ikon kegiatan#PWI, dan didukung penuh pimpinan daerah, termasuk Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Pelatihan yang dilakukan selama dua minggu—kemudian disingkat menjadi seminggu dan diikuti dengan UKW—memberi bekal mulai dari yang bersifat elementer tentang jurnalisme dan jurnalistik, sehingga lulusannya lebih cakap dibandingkan kalau hanya ikut UKW. Faham hukum dan filosofi pers, pandai memproduksi karya jurnalistik dan menghayati kode etik.
SJI#PWI dalam beberapa tahun dilakukan di sejumlah provinsi, seperti di Jambi, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dengan kolaborasi tiga lembaga tadi. Bahkan waktu itu SJI#PWI, didukung Gubernur Alex, melakukan kunjungan ke Missouri School of Journalism, di Amerika Serikat dalam rangka menandatangani nota kesepahaman. Sayangnya karena satu dan lain hal SJI kini berhenti, sehingga pelatihan anggota#PWI yang berbobot tidak dilanjutkan. Padahal manfaatnya sangat besar untuk mencetak wartawan berkualitas.
Pendidikan adalah hal penting kalau kita ingin agar integritas wartawan terjaga, tidak sekadar sertifikasi yang boleh jadi mudah dilewati kalau pesertanya didrill beberapa hari. Karena alasan ketiadaan anggaran, masyarakat pers tidak akan mempu menyelenggaraan pelatihan yang baik, kecuali pelatihan singkat yang sulit meresap.
Seharusnya pemerintah, parlemen, mulai memikirkan perlunya menyediakan anggaran, yang agar independen nanti dijalankan masyarakat pers, melalui organisasi wartawan maupun organiasi perusahaan pers. Seharusnya malu dengan kedutaan atau lembaga asing yang masih membantu, meski memfasilitasi untuk kalangan tertentu saja.
Malu rasanya yang memberi kata sambutan di pelatihan wartawan justru wakil dari negara asing, karena mereka memberi donasi. Ini soal independensi pers. Ini menyangkut harga diri bangsa dan penciptaan opini publik yang didukung oleh negara yang ideologinya saja berbeda.
Tapi apakah pemerintah dan parlemen menganggap itu biasa? Wallahu alam bishawab.***
Ciputat 6 Januari 2022
Sumber: mimbar-rakyat.com