Cerpen Yanto Bule “Catatan Daun”
5 min read“Nak bawa ini,dan Larung ke dalam sungai, Sebab purnama ke kita belum melarung sesaji ke sungai merah itu” ujar ibuku
Kubawa sesaji di dalam besek bambu yang berisi kembang tujuh rupa, harum bau bunga kantil menyengat hidungku,Jalanan terjal berbatu ku tempuh dengan sangat hati hati, apalagi suara deras air sungai merah,membuat nyaliku sedikit takut,apalagi suara binatang seperti tongeret nyaring terdengar dari tepi sungai.
Perlahan namun pasti, aku menyusuri pinggiran sungai merah dengan cukup hati hati, sesekali tanganku berpegangan pada sisi dinding batu sungai,sambil me jaga keseimbangan tubuhku agar aku tidak tergelincir dan langsung terjung kesungai merah, Yang menurut cerita ibuku pernah ada pertarungan antara bujang seratus dan gadis seratus.
Pikiran pikiran takut dan juga membayangkan cerita ibuku, semakin membuat aku takut untuk sekedar menoleh kebelakang saja, Tapi dengan membawa sesaji yang di pesankan ibuku untuk menaruh di dekat air terjun mengkaring, membuat aku sedikit menimbulkan keberanian di dadaku.
Tonjolan batu batu besar yang menyerupai pohon tua,Tak sedikit membuatku bisa menghilangkan rasa ketakutan pada diriku,kicau burung makin sering terdengar dan membuatku sedikit nyaman,apalagi Sepoi spoi angin begitu lembut sehingga membuat diriku makin mantap terus melangkah untuk bisa sampai ke dekat air terjun dimana ibu menyuruhku mendekatkan sesuai sebagai bentuk penghormatan pada penjaga air terjun .
Ini kesekian kalinya aku mengantar sesuai di dekat Ari terjun mengkaring, yang menurutku begitu indah dan banyak di datangi orang, apalagi suasana alamnya masih asri, dan tidak ada tangan tangan jahil yang merusak alam di sekitar air terjun, apalagi dengan legenda yang di tinggalkan di air terjun mengkaring menjadi cerita turun temurun bagi warga desaku, begitu juga dengan cerita cerita mengenai sungai merah yang di kelilingi pohon pohon yang membatu, daun pakis yang membatu,kerang dan juga banyak binatang lain yang sudah membatu, sehingga cerita turun temurun soal desanya yang dulunya adalah lautan bisa menjadi cerita sendiri bagiku.
Rasa lelah setelah meletakan cukup hati hati, sesaji yang di masukan dalam besek bambu, ku letakan di atas batu yang airnya mengalir lebih sedikit, sehingga besek berisi sesaji masih bisa aman untuk beberapa hari.
Usai sudah tugas mengantarkan sesaji di air terjun mengkaring,kini waktunya aku untuk mengerjakan tugas mencari rumput untuk kambing peliharaan peninggalan ayahku.
Dua ekor kambing besar dengan sepasang anaknya, menjadi tangung jawabku untuk mencarikan rumput di dekat ladang milik almarhum ayahku.
Ya, ini tahun ketiga bagiku dan ibuku, di tinggalkan ayah menghadap ilahi, Namun kami tidak mau larut dengan kesedihan terus menerus, sehingga ibuku yang sudah tua tidak begitu sedih memikirkan kepergian ayahku, apalagi aku sendiri sudah beranjak dewasa.
Pakan kambing,cukup tersedia di ladang ayahku, sebab lokasi ladang tak jauh dari pemukiman desa dan juga dekat dengan kebun durian peninggalan kakekku.
Waktu beranjak sore,pakan rumput yang ku kumpulkan sudah banyak,dan waktunya aku pulang kerumah untuk memberi pakan dua kambin dan dua anaknya.
Malam bergeser, usai solat magrib ku beranikan diri menanyakan ibuku, soal besek yang sering di letakan di air terjun mengkaring, dan apa tujuannya padahal ayahku adalah tetua desa yang saran dan petuahnya selalu di dengar warga.
” Besek yang setiap purnama ibu kirim ke air terjun mengkaring, apakah ada dampaknya terhadap kehidupan keluarga kita Bu” tanyaku penuh penasaran.
” Sesaji yang sering ibu minta antar ke air terjun, bukanlah salah satu kewajiban pada keluarga kita nak, sebab air terjun mengkaring tidak boleh di agungkan,apalagi hanya benda mati” ucap ibuku .
” Tapi perlakuan kita memberi sesaji, sejatinya hanyalah untuk menjaga dan melestarikan, agar air terjun tidak di rusak oleh orang lain, harapan ayah dan ibu dengan kita meletakkan sesaji maka orang yang berkunjung dan menikmati alam di sana, sedikit menjadi takut untuk merusak sebab ada sesaji yang di letakan di sana” ujar ibuku,sambil membetulkan posisi duduknya.
” Jika kita tidak bisa melarang agar orang tidak merusak, setidaknya dengan adanya sesaji maka mereka menjadi sedikit takut dan tidak berbuat macam macam di sana, dan akhirnya lokasi itu tetap asri dan terus terjaga dengan sendirinya “ungkap ibuku penuh makna.
Rasa penasaran yang mengganjal di dadaku, sedikit mulai terbuka, dan aku juga masih penasaran dengan cerita sungai merah, yang memiliki cerita turun temurun dan pernah terjadi pertempuran bujang seratus gadis seratus, rasa ingin tahuku makin menyeruak, sebenarnya ada misteri apa yang di simpan oleh para tetua desaku, sehingga sampai saat ini tidak ada satu orangpun yang berani menuba ikan di sana bahkan sekedar memindahkan batu fosil sedikit saja.
” Itulah nak, bujang seratus dan gadis seratus mereka sebenarnya tidaklah bertempur, tetapi dahulunya ada tradisi nenek moyang kita, bahwa bergotong royong membersihkan sungai dan merawat desa setiap tahunnya di laksanakan, sehingga tidak ada warga yang berniat merusak alam termasuk hewan air yang hidup di sungai merah ini” katanya dengan penuh kelembutan.
” Apalah yang bisa di tinggalkan para leluhur kita, jika mereka tidak menceritakan bahwa ada pertempuran bujang seratus gadis seratus, maka hari ini kita tidak bisa menikmati beningnya air sungai merah yang selalu memberikan airnya ke setiap sumur sumur warga, dan belum lagi ikan ikan yang menghuni lubuk lubuk, setiap hari masih bisa di tangkap warga desa kita untuk kebutuhan protein keluarganya “ujar ibu lagi.
” Kami bisa bayangkan jika tidak kita ceritakan dan terus di ceritakan dri generasi ke generasi, maka ibu yakin bahwa semua kekayaan alam yang ada di desa kita cepat rusak dan mudah punah,itulah sebabnya besek berisi sesaji sebenarnya hanya cara kami menjaga aset desa kita anaku” ucap ibu.
Suara jangkrik, makin jelas terdengar sementara malam terus berlalu, rembulan mengintip malu malu, waktu berlalu dengan sendu, ibuku masuk ke dalam bilik kamarnya untuk beristirahat, sementara aku masih sibuk mencerna apa yang di ceritakan ibuku.
Kokok ayam penanda pagi datang, bergegas aku bangun untuk ambil air wudhu di belakang rumah, ibu terlihat tengah memasak air,dan makanan untuk sarapan kami.
Senyum manis ibuku seperti menyapa, jagalah dirimu dan alami agar engkau bisa bertutur pada generasimu kelak.
Sanggar imaji, Pamenang 31 Juli 2023