26 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Kuasa dan Wibawa Masyarakat Minangkabau

6 min read

Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum/Foto: Istimewa

JAMBIDAILY JURNAL – Baru-baru ini kita mendengar berita bahwa bakal calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) Sumatra Barat, Mulyadi yang berpasangan dengan Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Hal ini berawal dari pernyataan Puan Maharani selaku Ketua DPP PDIP ketika memberi mandat kepada pasangan bakal cagub-cawagub Sumatera Barat untuk Pilkada 2020 tersebut yaitu “semoga Sumbar menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila.”

Walau pihak PDIP menganggap pernyataan Puan tersebut sebagai dialektika politik, namun momen tersebut telah mengundang berbagai reaksi di masyarakat. Termasuk reaksi yang muncul dari bakal cagub dan cawagub Sumbar itu sendiri yang mulanya didukung oleh PDIP yaitu, Mulyadi – Ali Mukhni. Mereka pun melakukan pengembalian surat dukungan dari PDIP, terkait pernyataan yang menimbulkan polemik di tengah warga Sumbar. Komentar kontroversi yang dilontarkan ketua DPP PDIP Puan Maharani tersebut, menurut pasangan Mulyadi – Ali Mukhni telah membuat resah masyarakat Sumbar sehingga mereka akhirnya mengambil sikap untuk mengembalikan surat dukungan dari PDIP tersebut. Apalagi keputusan ini diambil berdasarkan aspirasi masyarakat baik itu para tokoh ulama dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), Ninik Mamak, Bundo Kanduang baik dari ranah dan juga rantau yang sangat memiliki pengaruh besar bagi masyarakat adat Sumbar.

Fenomena tersebut menunjukkan, kuasa dari masyarakat adat Minang jelas tidak bisa dikesampingkan serta mempunyai otoritas yang tinggi dalam memberi keputusan. Kuasa masyarakat adat Minang atau kepemimpinan tradisional telah menjadi kontrol terlebih ketika keputusan itu menyangkut marwah dan wibawa masyarakat Minang.

Di lain hal, momen untuk menyerap aspirasi dan meraup dukungan dari berbagai tokoh adat masyarakat mendekati masa Pilkada 2020 ini semakin masif dilakukan di Sumbar. Sejumlah calon kepala daerah pun meminta restu kepada sejumlah tokoh Sumbar seperti alim ulama, ninik mamak, cadiak pandai, bundo kanduang serta sanak saudara agar diizinkan untuk bisa bertarung dalam pesta demokrasi tanggal 9 Desember 2020 mendatang.

Hal ini tampaknya sudah menjadi tradisi dan dianggap penting pula dilakukan sebagai Anak Minang, yang mengacu pada filosofi pegangan hidup masyarakat Minangkabau yaitu sebelum melakukan sebuah tindakan, harus meminta restu dan izin dulu kepada seluruh sanak saudara dan ninik mamak di kampung, termasuk kaum ulama dan cerdik pandai.

Dari fakta tersebut terlihat bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat hingga saat ini masih menjunjung tinggi kebudayaannya.

Dalam tradisi Minangkabau, kedudukan ninik mamak, alim ulama serta cerdik pandai memiliki kedudukan paling terhormat dalam struktur kemasyarakatan. Hal ini disebabkan oleh pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa hal-hal yang terkait adat dan syarak adalah wewenang dari ninik mamak, alim ulama serta cerdik pandai, sehingga mereka harus diintegrasikan kedalam jalur birokrasi formal yang terpusat dari mulai tingkat nagari sampai provinsi.

Dengan pengaruh mereka yang sangat besar terhadap perilaku kepemimpinan di Sumatra Barat, membuat mereka sangat ditaati dan disegani oleh masyarakat Minangkabau. Peran mereka tersebut juga dilegalkan dalam Perda Nomor 9 Tahun 2000, “Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari terdiri dari utusan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam nagari.”

Dengan demikian, ninik mamak yang biasanya bergelar “datuk” bersama-sama dengan kelompok ulama dan cerdik pandai (cendekiawan), merupakan kepemimpinan tradisional yang sah dalam masyarakat Minangkabau. Bentuk kerjasama itu pun dinyatakan dengan pepatah “Adat dipimpin oleh penghulu, agama dan ulama, dan pemerintahan oleh cerdik pandai.” Ketiganya saling bekerja sama dalam membangun masyarakatnya.

Pengaruh yang sangat besar inilah menunjukkan adanya kuasa dan wibawa kepemimpinan tradisional di Minangkabau.

Menurut definisi Miriam Budiardjo dalam bukunya Aneka pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (1984), kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain. Sebaliknya wibawa, suatu konsep yang saling berhubungan, adalah kuasa yang dilegitimasi.

Dengan demikian, suku Minangkabau berhasil merangkul wibawa ulama dengan menjadikan pemuka agama sebagai perangkat kekuasaannya. Merangkul wibawa ninik mamak dengan menjadikan pemuka adat dan hukum adat sebagai perangkat kekuasaannya. Dan merangkul wibawa cadiak pandai dengan menjadikan kaum intelektual sebagai perangkat kekuasaannya.

 

Prinsip Tali Tigo Sapilin dan Tigo Tungku Sajarangan

Konteks Minangkabau tentang kuasa dan wibawa pemerintahan adat sebagai kearifan lokal tersebut implementasinya ada pada nagari. Nagari adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan basis kehidupan masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat.

Nagari mempunyai seperangkat mekanisme adat untuk mengatur segala bentuk hubungan sosial, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, hubungan antar manusia dan hubungan antar manusia dengan alam.

Nagari diatur dengan prinsip tali tigo sapilin, yaitu pertautan antara hukum adat, syari’at Islam dan hukum negara (atau Undang-Undang).

Khusus hubungan antara adat dan Islam, orang Minang berpegang pada prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan antara hubungan manusia, alam, dan Tuhan.

Struktur kepemimpinan tradisional atau Pemerintahan Nagari dikenal secara lokal sebagai tungku tigo sajarangan (tiga tungku di perapian) yang terdiri dari tiga pilar: adat atau tetua suku/marga (ninik mamak), pemimpin agama (alim ulama), dan cadiak pandai (intelektual yang tercerahkan).

Niniak mamak berperan dan bertanggung jawab dalam mewariskan adat istiadat, tatanan nilai kesopanan dan tingkah laku (afektif) dalam bermasyarakat sesuai dengan ketentuan adat. Seorang niniak mamak dalam sistem pengetahuan di Minangkabau, memiliki kompetensi dan otoritas khususnya dalam aspek pengetahuan adat, yang bersumber dari raso dan falsafah alam takambang jadi guru. Pepatah untuk peran niniak mamak ini tergambar dalam “Niniak mamak dalam nagari pai tampek batanyo pulang tampek babarito”.

Alim ulama, merupakan orang yang mempunyai peran dalam mengemban dan memberikan pemahaman kepada umat tentang seluk beluk syara’ yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist. Seorang alim ulama dalam sistem pengetahuan di Minangkabau memiliki kompetensi dan otoritas khususnya dalam aspek pengetahuan agama dan keyakinan (teologi) yang bersumber dari wahyu. Umumnya, tokoh ini memiliki gelar sebagai seorang ustad/kyai. Alim ulama diibaratkan sebagai suluah bendang di nagari yang berarti suluh yang terang benderang yang menerangi negeri.

Cadiak pandai, merupakan orang yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam bidang ilmu pengetahuan (kognitif) dan undang-undang yang bersumber dari alam pikir dan logika (rasionalitas). Seorang cadiak pandai mampu memberikan solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.

Dengan otoritas yang terbagi tiga berdasarkan prinsip “Tigo tungku sajarangan”, pemimpin terhindar dari sikap dan perbuatan semena-mena, karena setiap kebijakan harus berdasarkan kesepakatan bersama.

Tidak ada kata putus hanya dari seseorang setinggi apapun kedudukannya tanpa dimusyawarahkan dan disepakati bersama sehingga tidak ada sabda atau titah raja di Kerajaan Alam Minangkabau. Karena dalam tiga tungku tersebut masing-masing tetua suku punya ranah atau area kekuasaan, sehingga tidak pernah terjadi perselisihan atau tumpang tindih kewenangan.

Hal ini yang juga menyebabkan di ranah Minangkabau sejak dahulu tidak ada gejolak perebutan tahta atau kepemimpinan, karena sistem demokrasi sudah tertata dalam aturan adat yang sakral dan sama-sama dihormati oleh masyarakat Minangkabau.

Konsep kepemimpinan ini sejatinya sejalan dengan Pancasila bahkan muncul sejak lama sebelum Pancasila disahkan tanggal 18 Agustus 1945, dengan didasari nilai saiyo sakato (seiya sekata) dan tercermin dalam pepatah “bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan” (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan).

Oleh karenanya, kuasa dan wibawa dari kepemimpinan tradisional Minangkabau merupakan identitas budaya yang harus dilestarikan. Apalagi fungsinya yang mengutamakan kebajikan dan kebijaksanaan, indak lapuak dek hujan , indak lakang dek paneh ( tidak lapuk oleh hujan , tidak lekang oleh panas).

 

 

Oleh: Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum*
Penulis adalah Staf Pengajar Universitas Sumatra Utara

#Isi Artikel menjadi tanggung jawab penuh penulis, termasuk Sumber dan referensi yang dicantumkan

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = 1