Perkembangan Teater di Jambi
18 min readDalam Catatan: EM Yogiswara
JAMBIDAILY JURNAL – Selasa, 08 September 2020, usai mengambil Juknis FL2SLN SMK di Diknas Provinsi Jambi, saya mampir ke Kantor Taman Budaya Jambi (TBJ). Tujuannya, untuk menyerahkan Juknis (khusus cabang Monolog) ke Kepala TBJ, Didin Siroz, SSn, -yang juga seniman teater di Jambi. Singkat kata, ‘Abah Didin’ — begitu biasa ia disapa–, menginformasikan, bahwa TBJ selain menyelenggarakan Workshop Musik 16-17 September 2020, juga akan melaksanakan Workshop Teater tertanggal 23-24 September 2020. Pemateri Workshop Teater, katanya, yakni Iswadi Pratama (dari Teater Satu Lampung), DR Yusril, MSn (dari ISI Padang Panjang) serta saya sendiri.
Dan saya, dalam Workshop Teater kali ini, diminta untuk membicarakan ‘perkembangan teater di Jambi’. Awalnya, ‘agak jengah’ juga ketika ditawarkan persoalan tersebut. Pasalnya, saya mau tidak mau harus membuka memori-memori lama –yang maaf, mungkin agak kurang data untuk dihadirkan di tengah peserta workshop. Hasilnya, selain membuka lembaran sejarah teater di Jambi (yang saya ketahui), saya juga mengambil inisiatif untuk menjemput bola tentang kelahiran komunitas teater yang ada di Jambi, melalui komunikasi WhatsApp (WA).
Perkembangan teater di Jambi –sengaja diambil contohnya di Kota Jambi saja, karena maaf, tentang perkembangan teater di kabupaten, mulai dari Kerinci hingga Ujung Jabung, saya tak banyak mengikuti perkembangannya, meski saya merasa, riak penampilan teater di kabupaten diyakini telah terjadi dan tak kalah menarik jika dibandingkan dengan pertunjukan yang disuguhkan di Kota Jambi.
Secuil Kisah Komunitas Teater
Sebelum berkisah tentang perkembangan teater di periode tahun 1980-an, saya hendak mengulik geliat teater di tahun 1960-an. Pasalnya, di periode ini, sudah ada semangat berteater di Kota Jambi. Teater Kelabu, namanya. Komunitas ini hadir di Jambi di tahun 1963-1964. Menariknya, di era ini ada satu naskah yang tercipta di tengah masyarakat Jambi. Naskah ‘Orang Kayo Hitam’. Naskah pentas ini merupakan karya dari Letkol RA Rachman, lalu diolah dan disusun oleh Yunda Z Ishak, Abdur Rachman Sayoeti (gubernur Jambi), AS Hafiz, Iwan Saleh, dengan tahun penciptaan karya, Jambi 7 Agustus 1968. Jika membaca naskah ini, maka yang tertanam dalam benak saya adalah pergelaran ini menggunakan konsep pementasan teater klasik modern dengan segala keterbatasan sarana pendukung panggung pertunjukan.
Memasuki era tahun 1980-an, Bonarti Lubis, sepulang dari kuliah di Asdrafi Yogyakarta, mendirikan Teater Panca Rona, tepatnya Maret tahun 1987. Sebelumnya, di tahun 1983 telah lahir Teater Mariditya pimpinan Nawawi Ismail. Di tahun yang sama, Arifin Akhmad dan istrinya Anik Sudaryo yang juga baru pulang menuntut ilmu di Asdrafi Yogyakarta, mendirikan Teater Merah Putih. Di tahun 1985, istrinya Anik – kemudian mendirikan Sanggar Purnadhita.
Periode ini, pemilihan naskah yang diangkat untuk disajikan oleh Bonarti Lubis adalah naskah-naskah bergenre realis dan komedi satir. Naskah yang digelar diantaranya, Orang Asing karya Rupert Brooke, Dokter Gadungan karya Moliere, Kebebasan Abadi karya CM Nas, dll.
Sementara Arifin Akhmad, menyutradarai naskah-naskah teater klasik modern, diantaranya, Gajah Mada, Antigone karya Sophokles, Machbet karya Willian Shaksepeare. Bahkan Arifin Akhmad juga menawarkan pementasan berjenis realis, misalnya, Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya, Kebebasan Abadi karya CM Nas, Tolong karya Putu Wijaya, Malam Pengantin Di Bukti Kera karya Motingo Busye, Petang Di Taman karya Iwan Simatupang, Rang Kayo Hitam, Tun Talanai karya Arifin Akhmad, dll.
Gedung pertunjukan untuk memperlihatkan ekspresi mereka, diantaranya Gedung Putra Retno, Gedung Wanita (saat ini BKOW), Sport Hall –gedung yang berada Jelutung, saat ini tinggal puing-puing saja, serta Gedung Olah Seni (GOS) –kini berubah nama menjadi Taman Budaya Jambi. Meski minim sarana laigthing dan ruang pertunjukan, namun kreativitas seniman lulusan Asdrafi Yogjakarta ini, patut dibanggakan. Betapa tidak, per enam bulan sekali, ada saja pertujukan teater di Jambi yang mereka tampilkan — tentunya dengan kualitas pertunjukan yang mumpuni saat itu.
Namun, perubahan besar terjadi pada tahun 2000-an, Teater Panca Rona, yang semula menunjukan kepiawaian bermain pada wilayah teater modern, beralih ke bentuk pertunjukan teater tradisional, dengan menggunakan pengembangan teater tradisi Dul Muluk, hingga saat ini. Dan komunitas ini, akhirnya kian matang bermain ala Dul Muluk-an di layar kaca TVRI Jambi. Sementara Teater Merah Putih dan Sanggar Purnadhita, berangsur menghilang eksistensinya –hal ini disebabkan oleh wafatnya dua tokoh teater di Jambi ini.
Beberapa anggota Teater Merah Putih dan Purnadhita, membuat komunitas seni, yakni Sanggar Sekintang Dayo di Oktober 1993. Sanggar yang dimotori Jayusman (pimpinan/ sekaligus bertanggungjawab pada sisi Seni Rupa), Ery Argawan (bertanggungjawab pada sisi Seni Tari), EM Yogiswara bertanggungjawab pada bilik Seni Teater dan Sastra), Ogek dan Adit bertanggungjawab pada lini Seni Musik), seiring perjalanan waktu, akhirnya Sanggar Sekintang Dayo ini mengkhususkan diri menjadi sanggar seni tari dengan pimpinan Ery Argawan, hingga kini.
Beberapa pertunjukan teater sempat disuguhkan ke masyakat Jambi oleh Sanggar Sekintang Dayo, yakni Bubrah karya EM Yogiswara dan Jayusman sutradara Ery Argawan (tahun 1993); Blok Nol Stop karya Putu Wijaya sutradara EM Yogiswara (tahun 1994); Sebutir Kepala dan Seekor Kucing cerpen karya Ahmadun Yosi Herfanda, sutradara EM Yogiswara, (tahun 1994); Gen karya EM Yogiswara koreografi Ery Argawan (1995); Perca karya/sutradara EM Yogiswara (tahun 1996); Halimun karya Suardiman Malay sutradara Ery Argawan (naskah ini, sempat dipentaskan Di Surakarta Jawa Tengah (tahun 1996); dll. Konsep yang ditampilkan Sanggar Sekintang Dayo saat itu adalah komedi satir. Ada juga mencoba bermain pada wilayah eksperiment, terkhusus pada pengolahan di wilayah benda-benda dan kostum, serta gerak tubuh.
Didin Siroz, di tahun 1993, hijrah dari Bandung ke Jambi, karena diangkat menjadi PNS di lingkungan Dinas PDK (sekarang Diknas) Provinsi Jambi, dan ditempatkan di Taman Budaya Jambi. Didin Siroz, asli Jawa Barat lulusan STSI Bandung (kini ISBI Bandung), sebelum mendirikan Teater Tonggak, sempat menunjukan beberapa pertunjukan teater. Diantaranya, Menggugat Jalan Setapak karya/sutradara Didin Siroz, Orang Kayo Hitam, serta beberapa happing art.
Dan ketika sudah membentuk Teater Tonggak, kiprahnya berteaternya kian mantap. Beberapa pertunjukan yang tercatat diantaranya, Deirde, End Game, Jante Arkidam, Menggugat Jalan Setapak (Di tahun 1999); Setan Blabla, Tembang Anak Sialang & Ikrar (tahun 2000); Ruwatan Bumi (tahun 2001); Terdampar (tahun 2002); Bujang Bulan Singarincing (tahun 2003); Kepompong (tahun 2005); Terdampar, Kepompong, Kampung Pembauran (tahun 2007): Menggugat Jalan Setapak, Kakitau, (tahun 2008); Dosa Yang Tersisa (tahun 2009); Cuci Kampung (tahun 2010); Telusur Jejak Leluhur (tahun 2011); Cuci Kampung, Lear Asia (tahun 2013); Tolak Balak Seni Rupa, Lear Asia (tahun 2014); Lear Asia, Putri Lingdung Bulan (tahun 2015). Suluk Bambu (tahun 2017); Tolak Balak Seni Rupa 2, Kolaborasi Tembang Anak Sialang bersama Teater Potlot (tahun 2018); Kakitau (tahun 2019), Tolak Balak Seni Rupa serta beberapa pementasan atas nama kerjasama dengan komunitas seni, perusahaan, pemertintah, dan event organizer.
Pementasan yang digelar oleh Teater Tonggak, semua disutradarai Didin Siroz yang pernah menjadi anggota aktif di Teater Payung Hitam pimpinan Rachman Sabur, serta STB pimpinan Suyatna Ainirun di Bandung. Dan tahun 2019, Tari Bedeti disutradarai Raja Rizky Maylado, Taktik Senja Menjemput karya/sutrdara Hendry Nursal, Sementara konsep penyutradaraan yang dihadirkan Didin Siroz, ada yang berbentuk eksperiment, ada teater klasik, ada realis, post realis.
28 April 2000, Teater Air Jambi didirikan oleh EM Yogiswara. Beberapa pementasan teater yang disuguhkan, diantaranya, Menunggu Godot karya Samuel Beckett, sutradara EM Yogiswara (tahun 2000), Menunggu Godot dalam Petang di Taman adaptasi dari karya Samuel Beckett dan Iwan Simatupang, sutradara EM Yogiswara (tahun 2000); Sketsa Merah Putih karya EM Yogiswara, sutradara Didi Hariadi (tahun 2001); Caligula karya Albert Camus, sutradara EM Yogiswara (tahun 2001); Umang-umang Atawa Ozone karya Arifin C. Noor, sutradara EM Yogiswara (tahun 2002); Topeng Kayu karya Kuntowijoyo, sutradara M. Husni Thamrin (tahun 2003); Sultan Thaha karya EM Yogiswara, sutradara Didi Hariadi (se-Abad Sultan Thaha, tahun 2004); Opera Sembelit karya Nano Riantiarno, sutradara EM Yogiswara (tahun 2004); DOM karya Bambang Widoyo Sp, sutradara EM Yogiswara (tahun 2005); Si Buta karya Khalil Gibran, sutradara Didi Hariadi (tahun 2005); Pada Suatu Hari karya Arifin C. Noor, sutradara Bujang Uwa (tahun 2005); Monumen karya Indra Trenggono, sutradara EM Yogiswara (tahun 2006); Dul Muluk (Pesta Raya Semarak Muara. Esplanade, Theaters on The Bay, Singapore (17-26 November 2006); Gerr karya Putu Wijaya, sutradara Didi Hariadi (tahun 2007); Inspektur Jendral karya Nikolai Gogol, sutradara Suardiman Malay (tahun 2007); DOM karya Bambang Widoyo Sp, sutradara EM Yogiswara pada PAT III STSI Padangpanjang (tahun 2008). Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya, sutradara Chory Marbawi (tahun 2010); Preet…Prooot karya Ilham Yusardi, sutradara Titas Suwanda (tahun 2011); Cipoa karya Putu Wijaya, sutradara Chory Marbawi (tahun 2012); Adin Pekak Serumah karya EM Yogiswara, sutradara Ahmad Bustomi (tahun 2012); Drama Sejarah Sultan Thaha Saifuddin karya/sutradara EM. Yogiswara (tahun 2013); Drama Sejarah Raden Mattahir karya/sutradara EM Yogiswara (tahun 2014); Suatu Hari Suatu Masa karya Randa Gusmora sutradara Oky Akbar (tahun 2015) Pementasan TUK karya Bambang Widoyo, sutradara Titas Suwanda (tahun 2016); HAH karya Putu Wijaya, sutradara Rully Anggraini (tahun 2016); Ben Gotun karya Saini KM, sutradara Oky Akbar. Pekak Serumah karya EM Yogiswara, sutradara Rully Anggraini. Tapa Malenggang sutradara Oky Akbar pada Panggung Aktor Sumatera (tahun 2018); Sebutir Kepala dan Seekor Kucing cerpen Ahmadun Yosi Herfanda, sutradara EM Yogiswara (tahun 2019). Telur Itik karya Randa Gusmora, sutradara Oky Akbar, Parade Teater Daerah ke-8 (TMII Jakarta, tahun 2019); Performing Art Luka Tanah Senanung di Festival Kampung Senaung, Desa Senaung (tahun 2019); Ferformance Orang-Orang, di Bawaslu Provinsi Jambi di Tugu Juang (tahun 2020); Plagiat karya/sutradara EM Yogiswara (tahun 2020).
AiR Sepekan Monolog, tahun 2008 menampilkan naskah Rabka karya Arthur S. Nalan, sutradara Chory Marbawi; Masmirah karya Arthur S. Nalan, sutradara Kartika Megasari; Penggali Perut karya Anton D. Sumartana, sutradara Zidan; Sssst….. Diam karya Giri Ratomo, sutradara Didi Hariadi; Spink Tripel X karya Arthur S. Nalan, sutradara M. Ghozali; Hung Voices (Lupa Kau Lupa Aku) karya/sutradara Maria Yulitasari; Tahun 2014 Teater Air Jambi kembali melakukan pementasan dengan tajuk Seratus Menit Monolog Bersama Teater AiR Jambi, dengan menampilkan Gusti Randa, Oki Akbar, Pipit Indah Permata, dan Sean Popo Hardi.
Beberapa pementasan monolog lainnya, diantaranya, Prita Istri Kita karya Arifin C. Noor, sutradara EM Yogiswara oleh Hapsah, pada Panggung Para Aktor Bicara, di TIM Jakarta (tahun 2005); Prodo Imitatio karya Arthur S Nalan oleh Regi Ananda Winardo (Peksiminas XIV di Yogyakarta, 2018); Monolog Balada Sumarah karya Tentrem Lestari oleh Rani Iswari (Peksiminas XIII di Kendari, 2016); Aeng karya Putu Wijaya oleh Oky Akbar (Peksiminas XII Palangkaraya, 2014); Demokrasi karya Putu Wijaya, sutradara Chory Marbawi oleh Sean Popo Hardi (Peksiminas XII di NTB, 2012); Topeng karya Rachman Sabur, sutradara EM Yogiswara oleh Sean Popo Hardi (Peksiminas XI Kalimantan Barat, 2010); Masmirah karya Arthur S. Nalan oleh Kartika Megasari (Peksiminas X di Jambi, 2008); Anjing karya Putu Wijaya sutradara EM Yogiswara oleh M Gozali, (Peksiminas IX di Makassar 2006).
Lima belas tahun kemudian setelah berdirinya Teater AiR Jambi, di Tahun 2015, Teater Rasi didirikan oleh Medi Saputra. Lelaki lulusan ISI Yogyakarta ini, mementaskan naskah, diantaranya, My Stupid Boss, Keris Siginjai karya/sutradara Medi Saputra, Monolog Tiga Kamar karya Iswadi Pratama sutradara Medi Saputra, Trik karya Putu Wijaya sutradara Medi Saputra, Masih Ada Gerhana karya Arthur S Nalan sutradara Medi Saputra, selebihnya naskah-naskah yang dipentaskan, sesuai dengan kebutuhan lomba.
23 Juli 2015 Teater Ananda Sekato didirikan oleh Bustomi Ismail (alias Bujang Uwa). Teater ini mengkhususkan diri pada teater anak-anak. Naskah yang pernah dipentaskan adalah Si Badul dan Anak Anak Abdul Muluk karya Bujang Uwa/Yuyun DNS dengan sutradara Bujang Uwa (2016); Nenek Gergazi, Putri Kesturi karya Bujang Uwa/Yuyun DNS dengan sutradara Bujang Uwa, (2017). Dan satu-satunya sanggar Pantomim yang hadir di Jambi, yakni Rumah Pantomim, didirikan tahun 2019 oleh Yuyun DNS. Pertunjukan pantomim yang dihadirkan, berjudul Selamatkan Hutan Kami karya/sutradara Yuyun DNS, di Taman Budaya Jambi, 2019
Teater Kampus
Di Tahun 1990-an berdiri Teater Aek Ngalir Unbari, Teater Hijau (IAIN Jambi –saat menjadi UIN STS Jambi). Namun karena tak pernah menampilkan karya teater di gedung kesenian (TBJ), maka saya pun luput untuk memantau naskah apa saja yang pernah mereka tampilkan. Yang jelas, keberadaan komuntas seni kampus di Unbari ini, konon kabarnya masih berdiri sampai saat ini. Sementara Teater Hijau, saya tidak tahu lagi rimbanya.
Tahun 1987 berdiri Pusat Studi Teater yang didirikan dosen FKIP Unja, Surdaryono alias Dimas Arika Mihardja (alm) –namun setelah pulang dari menempuh pendidikan S2 dan S3 di IKIP Malang, Dimas Arika Mihardja, tidak melanjutkan semangatnya untuk menggelar pertunjukan teater, tetapi ia lebih fokus ke dunia sastra –terkhusus puisi, dengan mendirikan Bengkel Swadaya Mandiri. Beberapa naskah yang langsung disutradarai oleh Dimas Arika Mihardja semasa mengayomi mahasiswa di Pusat Studi Teater FKIP Unja, diantaranya, Iblis (kisah Nabi Ibrahim), Termos Ajaib (kisah nabi Adam dan Siti Hawa turun ke bumi), Sepasang Merpati Tua, Orang Kayo Hitam. Pola garapan penyutradaraan yang ditawarkan oleh Dimas Arika Mihardja saat itu adalah komedi satir dan realis.
31 Juli 1997 Teater Orange Unja, didirikan empat mahasiswa, yakni M. Husyairi (lebih dikenal dengan sebutan Ary Ce’gu), Ide Bagus Putra, Alfakihi, Yupnical Saketi. UKM ini berawal dari para mahasiswa yang gelisah karena susahnya mengeksplorasi seni di dalam kampus. UKM yang mempunyai komitmen Dengan Seni Kita Damai ini bergerak dibidang teater. Pentas teater yang mereka lakukan, diantaranya, Delay (tahun 2008 di TBJ); Cream Ulang tahun, 2009 di Taman Budaya Lampung); Gentile (2010 di TBJ); The Dreams Away, 2012 di Taman Budaya Lampung. Yang menarik dari UKM ini adalah dari tahun 1998 mereka menggelar Oranye Teater Festival (OTF) di Taman Budaya Jambi. Sayangnya, memasuki tahun 2000, kiprah teater ini menghilang dari dunia per-teater-an di Jambi.
Tahun 1998 berdiri Teater Cindaku juga di Unja. Pendirinya, adalah Yupnical Saketi. Di Tahun 1999 ada Teater Kreatistik STIMIK Jambi. 10 Oktober 2010 Teater Sialang Rayo Unja dengan pendiri Suwandy alias Wendy. Pergerakan teater di kampus ini, diyakini lebih pada isi eksplorasi seni teater.
Di tahun 2004, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unja membuka 3 bidang peminatan untuk mahasiswa. Tiga bidang itu, yakni Peminatan Jurnalis, Peminatan Kepengarangan, Peminatan Teater. Khusus peminatan teater, terhitung sejak tahun 2004 hingga kini, setiap angkatan, selalu memunculkan komunitas teater baru yang berasal dari gedung E FKIP Unja. Misalnya ada Teater Metafora, Teater Sekutu, Teater Paku, Akar. Dll.
Imbas dari setiap angkatan memiliki nama komunitas sendiri, maka tidak mengherankan jika usai mengakhiri mata kuliah peminatan teater, berakhir juga komunitas teater Himabindo FKIP Unja ini. Dan, maaf, penampilan-penampilan mereka, tidak bisa saya pantau dengan baik, karena mereka mementaskan teater hanya di dalam kampus Unja, bahkan konon khabarnya mahasiswa ini sempat mentas di kampus-kampus yang berada di Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Medan, Riau, Pangkal Pinang, Palembang, dll.
Alhamdulillahnya, ada kelompok teater Himabindo FKIP Unja (angkatan 2016 dan 2017) yang mencoba pentas di Taman Budaya Jambi. Teater Akar dengan mengangkat karya Hikayat Suara, serta Teater Paku dengan menampilkan Maling Malang karya Putu Wijaya (tahun 2019).
20 Desember 2013, angkatan pertama Jurusan Sastra Indonesia FIB Unja, (Riza, Anggita, Echa, Putri, Dila, Peha, dkk,) mendirikan Teater Kuju. Pengurus teater yang semula digawangi kaum perempuan, memang agak berbeda dengan teater kampus di Unja sebelumnya. Pentas perdana Teater Kuju, yakni Perempuan di Keranda Kaca karya Elly Delfia dengan sutradara N Eko Saputra. Selanjutnya, Budak Lukah karya Ellen & Dedi dengan sutradara N Eko Saputra di TBJ dan gedung teater Kecil TIM (tahun 2014), 60 Menit Monolog Bersama Teater Kuju, dengan menampilkan Balada Sumarah karya Tentrem Lestari dengan pemain Rani Iswari dan Mulut karya Putu Wijaya sutaradara Oky Akbar (tahun 2017), Arwah Si Jontu karya Winda DP dengan sutradara Rani Iswari (tahun 2017).
Selain pentas tunggal juga pernah mengikuti lomba teater, diantaranya FTR 2014 di TBJ naskah Kongres Unggas karya Leila S. Chudori sutradara Sean Popo Hardi. Di tahun 2019, Trik karya Putu Wijaya sutradara Rani Iswari; Maling karya Putu Wijaya sutradara Windy Kaunang; Pencuri Hujan karya Arthur S Nalan sutradara Wahyu Cristopan; Petang Di Taman karya Iwan Simatupang sutradara Arianza Rafinda; Anjing-Anjing Mengejar Kuburan karya Puthut Buchori adaptasi cerpen Kuntowojoyo sutradara Gesang Tri Wahyudi.
Lomba Monolog TBJ tahun 2019, diantaranya, Nala karya Iswadi Pratama sutradara Windy Kaunang; Perempuan Pemalu karya saduran Iswadi Pratama sutradara, Windy Kaunang; Tikus karya Ari Nurtanio sutradara Paizin Palma P.
Kekuatan dan konsep yang ditawarkan pada teater-teater yang ada di belahan kampus ini, lebih pada keinginan mahasiswa pada sisi eksplorasi dan eksperiment. Lepas berhasil atau tidaknya konsep yang ditawarkan, mereka tetap semangat berbuat pada dunia teater. Apapun akhirnya, toh zaman sudah mencatat kiprah mahasiswa.
Komunitas teater di Jambi yang berasal dari kalangan SMA adalah Teater Kerlip. Teater ini lahir di tahun 2000, meski sifatnya ekstrakurikuler di SMA 1 Kota Jambi, namun hingga kini kegiatan berteater mereka tetap eksis. Semua tak lepas dari para alumni mereka yang tetap mengayomi (saling asih dan asuh). Naskah yang pernah ditampilkan, diantaranya, RT 0 RW 0 karya Iwan Simatupang, Petang Di Taman karya Iwan Simatupang, Pinangan karya Anton Chekov, Bujang Nak Kawin (FTRN di Yogyakarta, tahun 2013); Barabah (FTRN di Yogyakarta, tahun 2015), Masih Ada Gerhana (tahun 2019).
Tahun 2001, muncul Teater Q dengan pendiri ide Bagus Putra di SMA At-Taufiq Kota Jambi. Sayangnya, sejak tahun 2016, Teater Q yang memiliki kemampuan berteater serta musikalisasi puisi ini, terhenti kiprahnya. Alasan sederhananya, karena Ide Bagus Putra, pindah sekolah (jadi kepala SMP/SMA Pelita Raya Kota Jambi). Karya-karya yang pernah dipenttaskan leh Teater Q, diantaraya, Kedondong karya Acep Syaharil, Semiotika Daging Dalam Sangkar. Siku-siku karya/sutradara Ide Bagus Putra (tahun 2003). Kaya karya Putu Wijaya sutradara Ide Bagus Putra (tahun 2004)
Tahun 2007, Teater Alif berdiri di MAN Model Jambi (kini jadi MAN 2 Kota Jambi). Pendirinya Dedy Purwandy. Teater ini, selain berteater juga bermusikalisasi puisi. Karya yang pernah dipentaskan, Kampung Pembauran karya/sutradara Didin Siroz (tahun 2007); Anak Laren karya Ridwan sutradara Dedy Purwandy (tahun 2012);; Cuci Kampung karya/sutradara Didin Siroz (tahun 2012); Bujang Di Tanah Pilih karya Fredy Fristami sutradara Dedy Purwandy; Jantuk Di Negeri Kukuruyuk karya Arthur S Nalan sutradara Fredy Fristami; Puncuri Hujan karya Arthur S Nalan sutradara Miftahurahman; Dramatisasi Puisi Doa Mohon Kutukan karya Emha Ainun Najib; Di Tepi Batanghari karya Ridwan sutradara Solihin., .
Dari secuil perjalanan teater di Jambi, yang bisa saya nikmati dari upaya perjuangan seniman teater dalam menumbuhkembangkan teater di Jambi, adalah adanya pergerakan teater konvensional –artinya, kehadiran berteater yang diproduksi, semata-mata untuk penonton, dan penonton yang membeli tiket. Para pekerja teater yang berkecimpung dalam seni teater di Jambi, mau tidak mau merangkap jabatan, yah sebagai profesi, sebagai aktor, sutradara, desainer, dll. Namun belakangan, kondisi teater konvensional, merangkak merubah menjadi pengelolaan teater ber-managemen.
Sementara teater eksperimental, sebagaimana yang telah dilakukan kelompok teater di kampus, diproduksi tidak dengan terlalu mempertimbangkan penonton, karena tujuannya adalah eksperimen dan pendidikan. Padahal, Teater Miskin Grotowski, misalnya, kadang-kadang masih membutuhkan penonton, meski hanya segelintir orang.
Penonton di kalangan teater kampus, terdiri kaum dosen (kritisi), dan mahasiswa yang hadir. Namun, perlu dicatat bahwa teater ekperimental di kampus, umumnya, merupakan langkah awal untuk meneruskan perjuangan teater.
Dengan kata lain, membaca persoalan teater di Jambi, memang sangat menggembirakan, namun saya juga tidak bisa mengelak bahwa kenyataannya dunia teater di Jambi belum mapan dari sisi finansial. Namun demikian, yang patut dibanggakan adalah seniman teater di Jambi, masih punya semangat untuk menggairahkan kesenian teater, meski belum bisa menggairahkan isi dapur di rumah penggiat teater di Jambi..
Kegairahan dunia teater di Jambi, masih ditopang oleh semangat penonton untuk menghadiri perjuangan seniman teater. Penonton adalah faktor yang sangat menentukan agar dunia teater bisa utuh dan mandiri. Merekalah yang membuat suatu produksi, sehingga dunia teater bisa hidup dan menghidupi setiap produksi teater di Jambi. Butuh perjuangan, memang. Toh usia perjuangan itu memang lebih panjang daripada usia seniman itu sendiri.
Mengintip Tawaran Konsep
Lahirnya beberapa pergerakan teater dari periode ke periode, di Jambi, tentu saja sangat menggembirakan. Amatan saya tentang konsep yang ditawarkan selama pertunjukan teater di Jambi, adalah:
- Pertunjukan teater selalu menghadirkan puitik, di mana naskah-naskah yang dimainkan adalah karya seniman dunia. Teks pada naskah jelaslah blue print yang harus dipenuhi oleh setiap pemainnya, sehingga sangat terasa betul peran sutradara, pengarah laku sangat berfungsi dengan baik.
- Variasi pertunjukan sangat mendominasi seluruh pertunjukan antar komunitas. Ada yang menggabungkan tragedi dengan komedi, ada juga yang menawarkan (olah) tubuh yang menjadi bagian utama sebagai pisau bedah pada pertunjukan. Sehingga kebebasan dalam laku gerak dan dramatik para pemainnya sangat penting diberlakukan, mengingat tak adanya teks dalam naskah. Pemain dituntut menciptakan sendiri sesuai dengan lawan main yang dihadapinya, sehingga lahir akting yang hadir tanpa diduga sebelumnya. Kemerdekaan pada pemain merupakan identitas utama, bisa juga dikatakan teater aktor, dimana para pemainnya adalah tulang punggung dari panggung. Kemutlakan alur pada pertunjukan merupakan kebebasan para pemainnya sendiri, sehingga mereka dengan mudah mengubah di atas panggung sesuai dengan situasi para pemainnya. Pendekatan keaktorannya mestinya diperlihatkan, ketimbangan pengaturan laku yang dilakukan oleh seseorang yang mengarahkannya (sutradara).
- Ada juga pertunjukan teater yang setiap pemainnya mencari bentuk tokohnya sendiri, tidak hanya sebagai cetakan sutradara, tapi justru memadukan pengalaman batinnya sendiri dengan tokoh yang ada, atau tokoh yang hidup pada realitas, sehingga muncul satu pembebasan diri mengartikan subteks dalam naskah.
- Bentukan pementasan teater yang dihadirkan oleh komunitas teater di Jambi, dirasa perlu pendalaman dari sisi penawaran konsep baru, yang lahir dari seniman teater di Jambi, bukan hanya sekedar menampikan pertunjukan teater, tanpa memperdulikan tawaran konsep. Tak ada salah kok mencoba memberikan alternatif pertunjukan.
Saran
Menggali setiap kemampuan pemainnya agar tahu tentang garis, warna, tekstur dari setting yang akan dihidupkan, sangat diperlukan. Sampai akhirnya, para pemain benar-benar paham gagasan apa yang mau diungkapkan sutradara kepada publik.
Misalnya, menciptakan pertunjukan model teater Dul Muluk dengan capaian tradisi modern, dengan merubah keadaan sosial di masa mendatang melalui sentilan-sentilan lewat simbolik yang dihadirkan dari atas panggung, hingga bisa menjadi tolak ukur pendekatan peristiwa yang terjadi, menjadi acuan yang menggelitik. Tujuannya tak lain adalah adanya perubahan teater di Jambi.
Meskipun hakekatnya karya teater adalah karya seni, namun pendekatan realitas haruslah tetaplah lahir, entah berupa set yang minimalis, atau yang disebut simbolis, atau ada bagian salah satu idiom yang memang satu kenyataan, tapi selalu diingatkan dalam beberapa catatannya, penonton harus mampu memilah sendiri, beberapa bagian yang memang tidak nyata, dan beberapa bagian yang mengandung unsur seni tingkat tinggi.
Yang paling penting dari semua kisah ini adalah agaknya sudah waktunya, seniman teater di Jambi, dengan senang hati mengangkat naskah-naskah sendiri atau naskah-naskah yang diciptakan oleh anak Jambi –dan tentunya, dengan tetap mempertimbangkan kelayakan penulisan naskah lakon, dalam setiap pertujukan teater. Ditunggu!
Semoga berkah
Salam
Jambi, 20 September 2020
(Materi ini untuk kepentingan Workshop Teater yang dilaksanakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi UPT Taman Budaya Jambi, 23-24 September 2020)