Malam Bertambah Dingin, Hari ‘La Dalu’
4 min readOleh: Oky Akbar
Malam bertambah dingin seketika memasuki gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi. Aku paham betul, setidaknya berdasar pengalaman, bagaimana menyelamatkan tubuh dari jilatan gigil dingin ruangan gedung. Aku memilih duduk di samping pintu, di bagian depan kiri panggung. Posisi ini berhadapan lurus dengan pintu keluar sebelah kanan. Di sana, moderator malam itu, Bung Hen bersemayam.
Panggung tak banyak setting. Dua lapis kotak persegi empat, satu kursi rotan di atasnya menghadap lurus ke depan, sedangkan kotak persegi disusun sedikit menyerong ke kanan. Malam bertambah dingin.
Konsep garapan dibacakan. Cukup panjang halamannya. Isinya mengetengahkan latar tempat dan peristiwa Ngandum Kampung serta konsep garap kekaryaan. Beberapa nama Barat juga dengan tedas disebutkan. Penjelasan yang cukup panjang itu menghadirkan dugaan ada sesuatu yang coba disembunyikan, entah itu kekurangan, entah itu keragu-raguan dari data tradisi yang sudah dikumpulkan. Dugaan itu menguat karena garapan ini difokuskan kepada pengolahan mimpi sebagai landasan penciptaan karya teater. Mimpi? Siasat apa ini? Sedang malam bertambah dingin.
Lampu menyala. Asap menggumpal di panggung. Para aktor menempatkan diri, melingkari kotak persegi, yang di atasnya, duduk di kursi rotan, seorang lelaki tua, menggenggam tongkat kayu, berpakaian adat Melayu, tampak gelisah, seperti menyesali yang telah terjadi. Aktor bergerak, memainkan properti senter. Sinarnya menembus kerapatan asap yang menggambarkan keriuahan warga. Gaduh itu terus berulang. Pola gerak kemudian memisahkan sepasang laki-laki dan perempuan. Inilah awal mula Keramat Bedil berbahana.
Seluruh warga mendengar Keramat Bedil. Artinya, ada peristiwa pelanggaran adat. Ngandum Kampung harus dilaksanakan. Datuk, sang penghulu, tetua adat, belum memberi jawaban. Ia belum/tidak mendengar Keramat Bedil. Berulang warga kampung mendesak untuk dilaksanakan Ngandum Kampung, tetapi datuk tetap tidak mengiyakan. Ia justru menganggap warga berlebihan, terlalu mendramatisasi keadaan. “Anggap saja tidak terjadi apa-apa”. Namun, tuntutan terus bereproduksi. Datuk tetap tidak mengiyakan. “Mimpi belum datang”. “Syarat Ngandum Kampung belum terpenuhi”.
Tuntutan dan penolakan mengadakan Ngandum Kampung merupakan perang ideologi. Adanya kepercayaan dan ketidakpercayaan Keramat Bedil berbahana meghasilkan perbantahan. Perbantahan diekspresikan dalam kalimat-kalimat permohonan untuk menyelamatkan kampung, agar kampung tidak ‘dihujani’ malapetaka. Di samping itu, ekspresi lain direaksikan dalam kalimat-kalimat perlawanan. “Aku tidak mendengar Keramat Bedil”, “Kalian berlebihan”, “Anggap tidak terjadi apa-apa”, “Mimpi belum datang”, “Ketentuan adat tidak harus kita laksanakan”. Perang ideologi diantarkan lewat fase-fase pengaluran yang konstan dengan pola tutur dialogis tanya jawab.
Lebih lanjut, ideologi Datuk yang diharapkan mampu menggerakkan tindakan warga yang sejalan, justru semakin menemui jalan terjal. Bukti faktual telah menjadi jurang penghalang ideologinya untuk dipertahankan. Pemertahanan ideologi itu akan beririsan dengan ego. Ego menghasilkan penekanan dan pemaksaan pemahaman kepada kelompok-kelompok kecil. Meskipun jumlahnya banyak, kelompok kecil akan terus terdesak untuk melegitimasi kayakinan dari kelompok yang lebih besar. Datuk, walaupun tunggal, tetapi dengan modalitas simbolik, ia akan sulit dijatuhkan. Namun, usaha ego untuk menghasilkan legitimasi juga akan berhadapan dengan super ego. Super ego masyarakat melayu, sebagaimana konteks peristiwa ini disandarakan, terkelambu dalam aturan dan norma-norma kehidupan yang purna. Bertahun-tahun, norma dan aturan itu menjadi petunjuk arah kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, Datuk akan semakin berada dalam kekacauan pikiran, kegelisahan, dan ketidakberterimaan yang dapat mengantarkannya kepada dimensi psikologis yang lebih parah. Jalan keluarnya adalah kejujuran.
Malam bertambah dingin. Aku masih menyimak Ikhsan berakting total. Kekuatan aktingnya pasti diperoleh lewat proses panjang. Nyaris, ia seperti bermonolog. Bermain sendiri selama pertunjukan. Aku meyakini, tanpa hadirnya aktor-aktor lain, pertunjukan bisa dimainkan dengan satu orang. Namun begitu, bukan berarti aktor lainnya tanpa arti. Mereka berkontribusi menjaga irama permainan. Irama-irama dialog pimpong menjadi peluru tajam yang diandalkan. Sesekali dilakukan pembombardiran. Selain itu, bloking aktor berpola segitiga dan zig-zag, kadang cepat, kadang lambat berdampak bagi mata penonton agar tetap ‘sehat’.
Keramat Bedil kembali terdengar. Mimpi telah datang. Kejujuran harus diungkap. Kekecewaan Datuk kepada anak perempuannya membekas luka. Sebagai orang adat, Datuk gagal menjadi teladan bagi warga, pun anaknya. Dari kegagalan itu, Datuk terpaksa menerima menantu yang tidak diharapkan. Barangkali, saat itu, Datuk selamat dari arogansi warga. Kali ini, luka itu semakin dalam. Cucunya, hamil di luar pernikahan. Ngandum Kampung harus dilaksanakan!
Aku masih menyimak. Kebudayaan gagal menjadi jaring tingkah laku perubahan. Perubahan kebudayaan mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Setiap individu membawa corak generasinya. Generasi baru membawa corak baru dari generasi sebelumnya yang merupakan akibat dari perbedaan dalam pemenuhan kebutuhannya. Cara pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda menandakan adanya perbedaan kepribadian. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dan berkembang dalam kondisi yang menyertainya. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat digunakan individu dalam aktivitas keseharian dan itu sudah berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Masihkah norma itu dilaksanakan dalam keseharian? Atau justru hanya Datuk yang memanggulnya?
Malam bertambah dingin. La Dalu dari Kanti Becakap mengakhiri sajian dengan mantap.
Penulis:
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Jambi