16 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Panggil Kami Wartawan Atau Jurnalis

5 min read

Oleh: Anil Hakim

OPINI – Apakah kita sering mendengar istilah gadungan, palsu, abal-abal, untul-untul yang disematkan terhadap seseorang yang melakoni suatu profesi atau bidang pekerjaan ? Ya, istilah tersebut barangkali kerap kita dengar diberikan pada orang yang melakoni suatu profesi secara tidak professional, asal-asalan, tidak sesuai etika atau SOP, hingga berpura-pura menjalani serta menyalahgunakan profesi atau bidang pekerjaan tersebut.

Berbagai peristiwa terkait penyalahgunaan profesi yang terjadi belakangan ini seolah menjadi jawaban, bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi pada satu profesi atau bidang pekerjaan tertentu saja. Melainkan telah meluas dan menggerogoti berbagaimacam profesi lainnya. Mulai dari Tentara, Polisi, Dokter, Dosen, Politisi, Guru, hingga Wartawan. Sehingga setelah nama profesi, melekat tambahan kata-kata seperti gadungan, abal-abal hingga untul-untul.

Sebut saja kasus yang terjadi di jambi, dimana seorang sopir truk nekat mengelabui masyarakat dengan menjelma menjadi seorang TNI demi meloloskan bisnis minyak ilegal yang diamankannya. Pria tersebut tentunya telah mencoreng nama baik TNI dengan aksinya yang tidak terpuji, sehingga membuat dirinya mendapat gelar ‘TNI gadungan’. Pertanyaannya orang tersebut sudah jelas bukan TNI melainkan seorang sopir truk. Tidak bisakah hanya disebut pria gadungan atau yang lainnya ?

Kemudian, berbagai peristiwa yang menimpa institusi Polri akibat aksi dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab juga sempat menggegerkan masyarakat. Teranyar, oknum yang mengaku sebagai anggota kepolisian di Manado nekat mengancam sepasang kekasih demi melancarkan aksi bejatnya. Pria tersebut dengan percaya diri menunjukkan senjata api, untuk menakut-nakuti kedua sejoli dan melampiaskan nafsunya kepada sang perempuan. Pria itupun mendapat panggilan ‘polisi gadungan’.

Tidak berhenti sampai disitu, beberapa kejadian juga sempat membuat miris, dimana ada oknum yang berpura-pura menjadi seorang ustadz atau ulama. Hal tersebut dilakukan demi mendapat rasa hormat dan bisa terus mempengaruhi para pengikutnya.

Lebih gilanya lagi, beberapa peristiwa menghebohkan juga pernah membuat masyarakat indonesia terheran-heran kala oknum yang mengaku sebagai nabi hingga malaikat mengeluarkan pernyataan atau instruksi abnormal untuk terlihat mengagumkan. Parahnya, oknum seperti ini masih mendapatkan kepercayaan dari segelintir orang yang rela menjadi pengikutnya. Lantas oknum tersebut juga mendapat julukan sebagai nabi dan malaikat palsu atau gadungan. Agak miris, karena nabi ataupun malaikat belum pernah ada yang gadungan. Karena pastinya yang gadungan tersebut bukanlah nabi maupun malaikat.

Akibat kelakukan dari para oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut dengan menyalahgunakan berbagaimacam profesi tertentu demi merealisasikan niat buruknya, tidak butuh waktu lama bagi aparat penegak hukum membuat mereka beralih status menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana. Lalu bagaimana dengan sebutan wartawan gadungan, abal-abal, untul-untul yang mungkin acap kali kita dengar ?

Ya, julukan tersebut seperti tidak ada habisnya dari masa ke masa. Baik sebutan yang disematkan oleh sesama sejawat wartawan maupun masyarakat umum kepada oknum yang mengaku sebagai seorang wartawan atau jurnalis yang tidak sama sekali mencerminkan etika dan perilaku sebagai seorang wartawan atau jurnalis. Lalu apakah oknum tersebut harus ditindak secara hukum dahulu agar beralih status dan membuat istilah negatif yang kerap disematkan kepada profesi wartawan hilang ?

Tentu saja tidak, bukan itu tujuan akhir daripada tulisan ini. Lebih dari itu, saya ingin sedikit meluruskan perbedaan antara orang yang memang berprofesi sebagai jurnalis atau wartawan, dengan oknum yang kerap mendapatkan sebutan wartawan gadungan, palsu, abal-abal, untul-untul dan sejenisnya.

Wartawan sesungguhnya adalah orang yang bekerja menjalani profesi tersebut secara profesional dan bertanggungjawab. Umumnya, dalam menjalankan tugasnya, mereka berpedoman serta diikat dengan aturan yang terdapat pada undang-undang pers ataupun kode etik jurnalistik.

Sementara itu, oknum yang kerap mendapat sebutan wartawan namun ditambah embel-embel gadungan, abal-abal ataupun untul-untul tadi adalah orang yang biasanya dalam menjalankan aksinya, diluar tugas dan fungsi sebagai wartawan itu sendiri.

Jangan tanya soal apakah dalam menjalankan kegiatannya, mereka telah berpedoman pada aturan yang ada, yakni undang-undang pers (UU Pers) dan kode etik profesi jurnalis. Mungkin, menulis saja yang memang merupakan kegiatan utama seorang jurnalis mereka bingung dan gelagapan. Atau justru tidak pernah melakukan kegiatan tulis-menulis.

Kemudian, seorang wartawan yang profesional dalam melakukan pemberitaan harus berimbang dan independen serta mengutamakan kepentingan publik. Sedangkan oknum yang mengaku sebagai wartawan atau yang mendapat julukan wartawan gadungan bin abal-abal plus untul-untul hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan tidak sama sekali mewakili kepentingan publik.

Tidak hanya itu, seorang wartawan profesional sangat memahami batasan-batasan yang harus dijaga dalam menjalankan tugasnya. Seperti menghormati hak-hak narasumber dalam hal kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Memberi hak jawab dan koreksi secara proporsional terhadap pemberitaan yang salah ataupun keliru. Serta tidak segan untuk meminta maaf atas kekhilafan yang dilakukan.

Terlepas daripada itu, sebagai makhluk ciptaan tuhan tidak ada salahnya kita belajar menjadi hamba yang penuh kasih dan sayang. Maafkan dia, walaupun akibat ulah oknum tersebut telah membuat image wartawan atau jurnalis menjadi negatif. Sembari tetap memberikan bimbingan agar kedepan menjadi lebih baik lagi. Syukur-syukur oknum tersebut memang menjadi seorang wartawan atau jurnalis professional.

Berdasarkan ulasan ringan diatas yang menjadi poin penting adalah, bahwa penyalahgunaan profesi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab bukan hanya terjadi pada profesi tertentu saja.

Faktanya peristiwa seperti ini menimpa berbagai profesi dan seringkali terjadi. Jadi mulai saat ini, tidak ada lagi istilah wartawan abal-abal, wartawan gadungan, wartawan untul-untul atau yang lainnya.

So… Sudah saatnya bagi yang ingin dipanggil Wartawan atau Jurnalis terus meng-update diri melalui berbagai pendidikan dan pelatihan dari media maupun organisasi pers hingga mengikuti Uji Kompetensi Wartawan serta membuat karya-karya jurnalistik yang mematuhi Kode Etik Jurnalistik, agar kita dengan bangga dapat mengatakan Panggil Kami Wartawan atau Jurnalis. ***

Penulis adalah wartawan di salah satu media di Kota Jambi

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

82 − 72 =